Jakarta (ANTARA) - Kalimat It's the economy, stupid adalah salah satu mantra yang dipegang teguh oleh tim kampanye Partai Demokrat Amerika Serikat era 1990-an sehingga membawa Bill Clinton menjabat sebagai kepala negara AS selama dua periode berturut-turut.

Mengingat pentingnya aspek ekonomi, jejak kebijakan pengembangan ekonomi yang ditelurkan oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden yakni Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebenarnya dapat dilihat antara lain dari sejumlah konsep yang ditawarkan mereka seperti dalam debat kedua dan debat kelima.

Sebagaimana diketahui, debat kedua yang telah berlangsung pada 17 Februari lalu memiliki tema energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Sedangkan debat kelima yang diselenggarakan pada Sabtu (13/4) bertemakan ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan, investasi dan industri.

Di dalam debat kedua, Joko Widodo sebagai petahana banyak memaparkan kesuksesan dalam pembangunan infrastruktur melalui sejumlah program, seperti Dana Desa.

Jokowi menuturkan bahwa selama tiga tahun terakhir telah telah disalurkan Rp187 triliun dari dana desa. Dengan dana desa itu telah dibangun hingga sepanjang 191.000 kilometer jalan di desa-desa.

Menurut dia, pembangunan jalan raya melalui Dana Desa tersebut adalah jalan produksi yang sangat bermanfaat bagi warga di daerah-daerah kawasan pedesaan.Sedangkan bagi petani, lanjutnya, telah ada sebanyak 58.000 unit irigasi yang dibangun dengan menggunakan Dana Desa tersebut.

Menurut data pemerintah, pada 2016 pemerintah menyediakan Rp46,98 triliun Dana Desa dan tingkat penyerapan sampai 97,65 persen, dan pada 2017 hingga 98,54 persen dari Rp60 triliun Dana Desa yang dialokasikan terserap. Pada 2018, pemerintah mengalokasikan Rp60 triliun Dana Desa dan sekitar 99 persen di antaranya terserap.

Sementara Prabowo Subianto dalam pandangannya menilai bahwa pembangunan infrastruktur di pemerintahan Joko Widodo kurang efisien karena banyak yang dikerjakan secara "grasa-grusu".

Prabowo menambahkan apabila infrastruktur tidak berdasarkan pada rakyat, maka pembangunan tersebut hanya akan menjadi monumen.

Ia juga menyoroti banyaknya utang akibat pembangunan infrastuktur di era pemerintahan Joko Widodo yang menyebabkan inefisiensi.

Prabowo menambahkan banyak masyarakat yang dinilai dirampas tanahnya karena pembangunan tersebut memindahkan kehidupan mereka.

Swasembada pangan-keseimbangan harga

Selain itu, Prabowo juga menginginkan terwujudnya swasembada pangan, energi dan air yang tidak bergantung dari negara lain. Ia pun menjanjikan adanya penurunan harga makanan pokok serta menjamin ketersediaan pangan dalam harga terjangkau.

Prabowo tidak menyebutkan secara jelas upaya untuk swasembada pangan, energi maupun air tersebut, dan hanya menegaskan pentingnya pengamanan sumber ekonomi bangsa.

Ia juga menyerang kebijakan impor pangan yang dinilainya memukul tingkat kesejahteraan petani, serta ditelurkannya konsep revolusi industri 4.0, yang bila tanpa disertai oleh kebijakan yang tepat juga bisa menganggu lapangan pekerjaan para petani.

Terkait impor, Jokowi mengatakan impor beras yang dilakukan adalah dalam rangka untuk menjaga ketersediaan stok dan cadangan pangan. Selain itu, ditekankan pula bahwa Indonesia harus memiliki cadangan pangan baik untuk bencana atau apabila terjadi kondisi gagal panen.

Ia menyadari upaya mengurangi impor bukan hal yang mudah dilakukan, karena tidak mungkin menyelesaikan persoalan ini dalam waktu setahun atau dua tahun.

Jokowi juga menyatakan bahwa hal yang paling sulit adalah menjaga keseimbangan tingkat harga agar baik petani di tingkat produsen senang, begitu pula warga sebagai konsumen.

Terkait dengan impor pangan, ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati dalam sejumlah kesempatan berpendapat bahwa tidak mungkin kalau impor di bidang pangan ditiadakan sama sekali.

Enny menjelaskan bahwa tidak semua bahan pangan mampu diproduksi Indonesia atau bahkan memenuhi seluruh kebutuhan. Oleh karena itu beberapa jenis pangan masih diperlukan dari kegiatan impor.

Ia memberikan masukan, lebih baik subjeknya atau pelaku pemenuhan pangan diperhatikan kebutuhannya. Dalam kasus beras maka subjeknya adalah petani.

Enny berpendapat jika petani sudah dipenuhi kebutuhannya dari segi perlengkapan dan teknologi bahkan lahan, maka memenuhi kemampuan dalam negeri bukan hal yang tidak mungkin, bahkan bisa ekspor dengan kualitas terbaik.

Dengan kata lain, ujar dia, petani lebih baik tidak dipinggirkan perannya, karena dengan sejahteranya petani akan membuat pelaku produksi pangan lebih maksimal.

Indonesia sentris-kekayaan nasional

Sedangkan dalam penyampaian visi misi di debat capres kelima, Joko Widodo menyatakan bahwa pola pembangunan ekonomi yang didorong tidak hanya sekadar meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga melalui pemerataan sehingga pembangunan nasional bisa benar-benar bersifat "Indonesia sentris".

"Selama 4,5 tahun saya dengan Bapak Jusuf Kalla telah berusaha keras berjuang keras dalam rangka mengembalikan watak asli dari pembangunan di negara kita Indonesia yaitu tidak hanya bertumpu kepada pembangunan ekonomi saja, tetapi juga bertumpu kepada pemerataan," kata Jokowi.

Menurut Jokowi, pertumbuhan tanpa pemerataan hanya menghasilkan ketimpangan antara si kaya dan si miskin serta ketimpangan antarwilayah yang juga mengakibatkan ketidakadilan.

Untuk itu, ujar dia, pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintahannya juga tidak hanya di Jawa tetapi juga bersikap "Indonesia sentris".

Selain itu, Jokowi juga mengaku ingin terus memperjuangkan sumber daya alam strategis yang dimiliki Indonesia demi menciptakan kemandirian ekonomi yang adil dan menyejahterakan rakyat.

"Kami terus memperjuangkan kemandirian ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, sumber daya alam strategis yang sebelumnya dikuasai asing (kini sudah) dikuasai negara, seperti Blok Mahakam, Blok Rokan, dan Freeport," katanya.

Menurut Jokowi, kemandirian penting karena dapat menciptakan ekonomi yang adil dan mampu menyejahterakan rakyat.

Sementara itu, calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menilai kekayaan nasional saat ini lebih banyak tersimpan di luar negeri dan tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

"Kenyataannya adalah dan diakui pemerintahan sekarang, bahwa kekayaan nasional Indonesia mengalir ke luar negeri. Lebih banyak uang di luar negeri daripada di dalam negeri," katanya.

Prabowo mengatakan kondisi ekonomi ini sudah menyimpang dari cita-cita pendiri bangsa dan tidak membawa kesejahteraan yang sebenarnya bagi seluruh masyarakat.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa saat ini mulai terjadi gejala deindustrialisasi karena Indonesia tidak punya strategi yang jelas untuk meningkatkan pembangunan industri.

Prabowo juga menilai bahwa pemerintah bisa mencontoh China dalam mengentaskan kemiskinan, yang saat ini masih belum terselesaikan.

Prabowo menilai arah ekonomi Indonesia sudah salah jalan, karena itu perlu reorientasi strategi pembangunan.

Selain itu, menurut dia, harus ada perencanaan pembangunan industrialisasi dengan melindungi petani dan tidak impor.

Harapan pemilu

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter A Redjalam di Jakarta, Selasa (9/4) mengemukakan bahwa isu-isu ekonomi sejauh ini hanya dibahas secara parsial dan isu yang diangkat juga isu-isu kecil dan tidak menyentuh permasalahan inti yang memang seharusnya diangkat dalam debat setingkat pilpres.

"Paslon tidak fokus pada masalah dan tidak juga mengajukan solusi. Satu pihak sibuk dengan mengkritisi, yang satu juga sibuk dengan apa yang sudah dicapai. Tapi tidak menceritakan sebenarnya masalah ekonomi kita apa dan solusinya apa," kata Piter.

Piter menuturkan, yang dibutuhkan oleh publik yaitu kedua pasangan capres dan cawapres menyajikan masalah utama ekonomi Indonesia dan juga strategi akbar untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi tersebut.

Sedangkan Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti menyatakan, siapapun presiden yang terpilih nantinya, Pemilu 2019 harus bisa membawa perubahan model ekonomi secara struktural bagi Indonesia.

Rachmi Hertanti berpandangan bahwa persoalan yang melingkupi kebijakan perdagangan Indonesia merupakan konsekuensi dari pilihan model ekonomi yang dipilih oleh Pemerintah Indonesia pasca-1967, dimana pembangunan ekonomi lebih bertumpu pada investasi asing dan ekstraksi sumber daya alam.

Ia juga mengutarakan harapannya agar Pemilu 2019 jangan hanya menjadi proses demokrasi prosedural semata tetapi harus benar-benar mampu mengedepankan agenda rakyat ketimbang agenda elit-elit politik, khususnya dalam menyusun agenda pembangunan yang dipimpin oleh kepentingan rakyat.

Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019