Jakarta (ANTARA News) - Indonesia menginginkan penggunaan prinsip "business to business" (kalangan bisnis dengan kalangan bisnis) dalam melakukan investasi interkoneksi listrik antara negara, karena pengembangannya tidak dapat dilakukan lagi oleh pemerintah.
"Kita ingin interkoneksi listrik menggunakan prinsip bisnis, jadi tidak ada lagi Aceh ASEAN Fertilizer Plan. Itu keinginan kami, apapun yang kita ingin bangun di ASEAN perlu dibangun secara `business to business`, karena pengembangan tidak bisa lagi dilakukan oleh pemerintah," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, di Jakarta, Rabu.
Purnomo mengatakan ada beberapa hal prinsip yang akan menjadi topik panas di ASEAN Summit yang akan dilaksanakan pada pertengahan November 2007 di Singapura yang menyangkut `cum environment cum economi`.
Dan posisi Indonesia jelas mendukung interkoneksi listrik antar negara, tetapi harus didasari `business to business`.
Dia mengatakan keinginan membentuk interkoneksi listrik di kawasan ASEAN pada 2020 nanti sebenarnya telah dimulai dengan interkoneksi gas yang terhubung antara Indonesia dan Malaysia. Tetapi untuk trans program interkoneksi listrik sendiri baru akan dilakukan secara bertahap.
Menurut Purnomo, ada dua seksi proyek interkoneksi yang akan segera dilaksanakan, yakni di Kalimantan Barat dan yang lainnya interkoneksi dari Cirenti ke Malaka, sehingga akan ada ASEAN Corporation yang dikembangkan.
Tiga masalah
Selain itu, Purnomo mengemukakan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan interkoneksi antar negera, yakni masalah teknik, politik, dan keamanan. Ketiga hal tersebut masih dianggap sesuai untuk pengembangan interkoneksi listrik antar negara.
Dia menjelaskan untuk masalah keamanan diperlukan untuk menjaga kabel-kabel transmisi yang digunakan untuk interkoneksi dalam keadaan baik. Contoh kasus adalah kabel bawah laut yang ada di Jawa-Madura atau pun Jawa-Bali yang berada di perairan sibuk, dan dikhawatirkan transmisi akan tergangu oleh kapal yang melintas.
Sementara itu, untuk masalah politik, dia mengatakan karena terkait dengan dua negara, maka perlu diperhatikan masalah regulasi di masing-masing negara. Dalam beberapa kasus, ada pengalaman terkait dengan masalah fiskal, dan biasanya solusinya jika pembangkit ada dalam kewenangan negara A maka harus mengikuti negara A, namun jika berada di negara B tentu harus mengikuti sistem fiskal di negara B.
Sedangkan untuk masalah teknik terkait dengan semua masalah teknis pembangunan dan pengoperasian interkoneksi listrik antar negara yang dibuat bersama dan diselesaikan secara bersama jika terjadi masalah. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007