Jakarta (ANTARA) - Peneliti senior Indonesia for Global Justice (IGJ) Olisias Gultom menilai, terdapat dua aspek yang membuat lemah Indonesia dalam perundingan perdagangan internasional.
"Saya melihat ada dua aspek, pertama yakni nilai tawar Indonesia yang selalu rendah. Ketika kesepakatan perdagangan internasional itu dilakukan, kita ada di posisi nilai tawar yang rendah," ujar Olisias di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, Indonesia cenderung didikte oleh negara-negara dengan nilai tawar yang kuat.
"Aspek kedua ialah ketika proses implementasinya Indonesia masih menghadapi persoalan-persoalan internal, salah satunya korupsi. Jadi banyak hal yang kita tidak lakukan secara konsisten dan dimanfaatkan baik, pada akhirnya (perjanjian) itu tidak termanfaatkan juga," tutur Olisias.
Peneliti IGJ itu menyarankan para pembuat keputusan nasional berhati-hati dalam melihat perjanjian perdagangan internasional.
"Dalam sejarahnya kolonialisasi itu dimulai dari perdagangan, pintu masuknya dari perdagangan lalu berlanjut ke utang-piutang dan merembet ke berbagai aspek lainnya. Artinya hati-hati juga kita bisa masuk dalam jebakan yang sama pada akhirnya, ini yang menurut saya perlu diingatkan terus," tuturnya.
Menurut IGJ pada 2018 terdapat beberapa perjanjian yang telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan akan segera diratifikasi yakni Indonesia-EFTA ( European Free Trade Association), 10th ASEAN Framework Agreement on Services, First Protocol to Amend ATIGA, ASEAN Agreement on Electronic Commerce, dan Indonesia-Australia CEPA.
Perkembangan model kerja sama komprehensif perdagangan internasional, menurut IGJ, bukan lagi hanya mengatur kerja sama perdagangan secara sempit (ekspor-impor), tetapi juga mengatur aspek ekonomi dan sosial secara luas serta berdampak langsung terhadap kehidupan rakyat Indonesia, bahkan kedaulatan negara ikut dipertaruhkan di dalamnya.
IGJ juga menyarankan Indonesia menjadikan menguatnya praktik proteksionisme dalam perdagangan global sebagai momentum untuk mengukur kembali kekuatan perdagangannya. Pilihan strategi diplomasi perdagangan internasional Indonesia sudah seharusnya diarahkan untuk memperkuat serta melindungi kedaulatan ekonomi rakyat.
Baca juga: Kedua capres disarankan hentikan perundingan perdagangan internasional
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019