"Saya kira narasi seperti ini merupakan provokasi yang tidak perlu. Ini sangat berbahaya bagi kelangsungan pemilu nanti," kata dia saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat.
Menurut dia, Daftar Pemilih Tetap (DPT) bermasalah, yang merupakan latar belakang dari narasi tersebut, adalah masalah kolektif yang tidak perlu dibesar-besarkan.
"Jika alasan dari 'people power' dan kekalahan yang didapat dari salah satu kubu merupakan kecurangan itu berasal dari DPT yang bermasalah, saya rasa itu tidak logis. DPT bermasalah hanya 5% dan sudah ditindaklanjuti KPU secara terbuka," jelasnya.
Hamdi menambahkan, pernyataan dan "mindset" kemenangan yang didapat dari kecurangan ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, mengingat bukti kemenangan baru bisa didapatkan setelah pemilihan umum.
"Kan pemilunya saja belum mulai, kok sudah bisa menyimpulkan terjadi kecurangan. Bukti kemenangan itu nanti setelah coblosan," kata dia.
Menurut Hamdi, saat ini kemungkinan kecurangan sudah sangat kecil dan kinerja dari penyelenggara pemilu sudah baik dan juga terbuka.
"Penyelenggara pemilu sudah bekerja dengan baik. Dan saya harap pesta demokrasi ini dapat berjalan dengan penuh kegembiraan dan provokasi-provokasi semacam ini tidak ada lagi," katanya.
Pemilihan Presiden 2019 diikuti oleh dua pasang calon. Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin serta pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Pewarta: Dea N Zhafira, Joko Susilo
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019