Mesuji, Lampung (ANTARA) -

Rumah tinggal warga Moromoro di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung dalam kawasan Register 45 Sungai Buaya yang berada di sisi Jalan Lintas Timur Sumatera, Lampung-Sumatera Selatan.
(FOTO: ANTARA Lampung/Budisantoso Budiman)

Ribuan warga yang tinggal di kawasan "terlarang" Register 45 Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung hingga kini mengaku masih "belum diakui" keberadaannya secara sah sebagai warga negara Indonesia yang utuh.

Umumnya mereka tidak terdaftar secara administratif sebagai penduduk resmi, dan praktis tidak memiliki dokumen kependudukan yang diperlukan, karena tinggal di kawasan Register 45 secara hukum merupakan areal hak guna usaha (HGU) PT Silva Inhutani.

Kendati sudah tinggal menetap, bahkan sebagian warga kini telah membangun rumah permanen di kawasan Register 45, antara lain di permukiman warga Moromoro, umumnya warga mengakui tak memiliki dokumen kependudukan berupa KTP elektronik.

"Berkali-kali kami sudah didata, namun hingga kini belum memiliki KTP dan tak diakui sebagai warga di sini," ujar Nyoman Sudanra (44) yang tinggal di kawasan Dusun Simpang Asahan di Moromoro sejak 2003 bersama istri dan seorang anak lelakinya. Ia memiliki kebun tak jauh dari rumah tinggalnya seluas beberapa hektare yang ditanami pohon karet dan singkong.

Kondisi serupa dibenarkan Alfandi (42), warga yang bermukim di Morodewe, Moromoro sejak tahun 1999. Dia pun tak memiliki dokumen kependudukan yang diperlukan, padahal sudah belasan tahun tinggal di kawasan ini.

Menurut Sahrul Sidin yang didaulat warga setempat sebagai "lurah" dan menjadi Ketua Persatuan Petani Moromoro Way Serdang (PPMWS) yang menaungi kawasan lima pedusunan di Moromoro, yaitu Simpang Asahan, Moro Dewe, Moro Seneng, Moro Dadi, dan Sukamakmur.

Kawasan ini telah mulai ditinggali warga sejak tahun 1994 dan hingga kini untuk di Moromoro tela dihuni oleh sedikitnya 700 kepala keluarga atau hingga 3.000-an jiwa menempati lima pedusunan tersebut. Warga umumnya memiliki rumah tinggal semi permanen dan permanen, bahkan di antaranya telah memiliki rumah permanen yang bagus. Sebagian membangun pula warung-warung serta bengkel di depan rumah mereka terutama yang berada di sisi Jalan Lintas Timur Sumatera pada bagian depan wilayah Moromoro seluas hampir 3.000-an hektare ini.

Kawasan Register 45 Sungai Buaya yang merupakan areal HGU PT Silva Inhutani mencapai luas sekitar 43.100 hektare, dari semula 33.100 ha. Saat didatangi warga sebagian besar wilayah itu berupa hutan dan semak belukar, pada sisi seberang kiri-kanan ruas Jalan Lintas Timur Sumatera saja telah ditanami albasia dan tanaman karet.

Selain Moromoro di kawasan Register 45 terutama pada sisi kiri Jalan Lintas Timur Sumatera dari arah Kota Bandarlampung umumnya telah dihuni ribuan warga beserta rumah tinggal dan areal kebun mereka, di antaranya kebun singkong dan pohon karet. Sedangkan pada sisi kanan Jalan Lintas Timur Sumatera umumnya ditanami pohon karet secara penuh dikelola oleh PT Silva Inhutani dengan luas sekitar 22.000 ha.

Kawasan permukiman yang ada, selain Moromoro adalah Labuhan Indah sekitar 2.400 ha dan Karya-karya serta Pekat hingga mencapai sekitar 8.000 ha.

Beberapa kawasan HGU perkebunan PT Silva Inhutani itu pernah mengalami penggusuran untuk "mengusir" dan membersihkan warga setempat, terutama di kawasan Pekat pernah digusur secara masif pada tahun 2011. Namun kemudian justru lebih banyak warga berdatangan masuk ke areal ini.

Diperkirakan warga pemukim di kawasan Register 45 Sungai Buaya Mesuji, termasuk warga Moromoro mencapai sedikitnya 20.000 KK.

Sebagian mereka, terutama di luar warga Moromoro diketahui memiliki dokumen kependudukan karena telah terdaftar sebagai warga di kampung lain sekitarnya maupun kampung asalnya.

Berbeda dengan umumnya warga Moromoro, menurut Sahrul Sidin, sebagian besar tidak memiliki dokumen kependudukan karena hanya tinggal di daerah ini, memiliki rumah tinggal beserta kebun di Moromoro ini. Namun hingga kini tak terdata dan "tidak diakui" oleh pemerintah setempat sebagai warga negara yang sah.

Jamari (63), salah satu sesepuh warga Moromoro yang datang ke kawasan ini sekitar tahun 1996 bersama 12 orang lain, membenarkan bahwa kedatangan mereka ke Register 45 ini sama sekali tidak ada yang mengajak atau mengkoordinirnya. Mereka datang atas inisiatif sendiri secara bergelombang, berangsur-angsur hingga sekitar tahun 2011. Karena itu, kawasan ini disebut "moromoro" artinya datang (dengan sendirinya), termasuk sebutan "moro dewe" (datang sendiri), "moro seneng" (datang tanpa paksaan) yang menjadi nama-nama pedusunan di Moromoro ini kemudian.

"Selama tiga tahun awal masuk ke Register 45 ini, saya bersama istri dan lima anak hidup dalam kondisi seadanya, semua serba kekurangan," ujarnya lagi.

Ia bersama anak istri terpaksa hidup di bawah tenda seadanya, sehingga kalau hujan kehujanan dan panas kepanasan. Saat malam hari pun mendapatkan ancaman dari binatang buas yang hidup di lingkungan sekitarnya, saat itu masih berupa hutan dan semak belukar.

"Saya hidupkan api dengan membakar kayu dan semak di sekitarnya, selain agar hangat juga untuk menghindari serangan binatang buas yang berbahaya," ujar Jamari pula.

Berangsur setelah itu, menyusul makin banyak warga berdatangan ke kawasan ini, Jamari selain berkebun sendiri, juga mencari upaya berkebun dan kerja serabutan dengan warga lainnya.

Namun begitu, tak semua dari sedikitnya 12 orang kepala keluarga yang datang lebih awal ke Moromoro ini semuanya bertahan, sebagian di antaranya karena tak tahan hidup sudah dengan fasilitas seadanya kemudian memilih pergi dan mencari tempat penghidupan lain di luar Register 45. "Ada juga beberapa yang meninggal dunia di sini, karena hidup serba kekurangan," ujarnya.

"Jangankan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang mencukupi, untuk hidup bisa makan mencukupi sehari-hari pun masih sulit saat itu," ujarnya lagi. Makanan pokok yang biasanya dikonsumsi adalah singkong. Itu pun ditanam sendiri di kebun sekitarnya. "Makan nasi dan bisa membeli beras setiap hari saat itu merupakan sebuah kemewahan, itu pun tetap dicampur singkong atau jagung," ujarnya pula.

Namun, kondisi itu berangsur berubah hingga kini kawasan Moromoro dan beberapa areal dimukimi warga dari berbagai daerah di Lampung maupun luar Lampung itu, telah tumbuh sebagai permukiman umumnya. Ada rumah tinggal, beberapa rumah permanen tergolong bagus, ada warung, bengkel, dan beberapa sarana pendidikan (sekolah) yang dibangun secara swadaya oleh warga di sini.

Tradisi gotong royong juga dipertahankan di Moromoro ini, seperti 'sambatan' atau gotong royong bersama-sama memindahkan rumah kayu hingga utuh menjadi rumah yang bisa ditinggali keluarga bersangkutan.

Bila ada warga yang meninggal dunia, juga bersama-sama mengurusnya hingga ke pemakaman, termasuk warga asal Pulau Bali yang harus melaksanakan prosesi Ngaben, dibantu warga sekitar, termasuk warga yang bukan berasal dari Bali.

Namun, nasib pengakuan kawasan ditinggali warga di Moromoro ini hingga kini belum jelas. Warga masih dianggap hidup di kawasan "terlarang" yang tak boleh dihuni mereka. Jangankan membangun rumah tinggal permanen beserta fasilitas pendukung lainnya, untuk tinggal menetap di sini saja sebenarnya terlarang bagi warga.

Jamari bersama lima anak dan cucunya hingga kini tidak memiliki dokumen kependudukan yang diperlukan. Umumnya warga Moromoro dari lima pedusunan ini juga tak memilikinya.

Alhasil, menjelang Pemilu 2019 ini, umumnya warga Moromoro dan sekitarnya itu sebagian besar tak terdaftar sebagai pemilih tetap dan hampir pasti tidak bisa menggunakan hak pilih mereka. Terkecuali beberapa warga yang secara individual memiliki dokumen kependudukan (KTP-el) karena mengurusnya di kampung lain terdekat. Namun menurut Sahrul Sidin, Ketua PPMWS, hanya segelintir warga Moromoro yang memiliki dokumen kependudukan. Umumnya warga di sini tetap tidak diakui secara sah sebagai warga negara yang berdomisili di Moromoro karena berada dalam kawasan Register 45 Sungai Buaya.

Bagaimana kemungkinan warga Moromoro tetap bisa memilih dan tidak kehilangan hak pilih karena kondisi di alami mereka itu? Padahal beberapa kali pemilu sebelumnya umumnya bisa memilih dengan mengurus keterangan domisili menginduk dari desa tetangga terdekat.

Masih Bisa Memilih
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mesuji justru memastikan sedikitnya 1.500 hingga 2.000-an warga di Moromoro yang tinggal di Register 45 Sungai Buaya masih dapat menggunakan hak pilih pada Pemilu 209 jika membawa surat keterangan (Suket) dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) setempat.

Ketua KPU Mesuji Ali Yasir, saat dikonfirmasi di Mesuji, Kamis (11/4), menjelaskan terkait ketidakpastian hak politik dialami ribuan warga Moromoro yang terancam kehilangan hak pilih pada Pemilu 2019 nanti. "Kami menjalankan UU Pemilu saat ini, dan sejak awal KPU Mesuji sudah melakukan beberapa hal terkait Moromoro ini," katanya menegaskan pula.

Ali Yasir menuturkan penanganan warga Moromoro ini, dari data yang diterima, kemudian pihaknya melakukan cek silang menyandingkan data itu ke Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) Kemendagri. "Ada beberapa yang masuk dalam administrasi Mesuji, ada yang tidak," ujarnya lagi.

Dia menerangkan lagi, data yang tidak ketemu sandingan, disampaikan oleh KPU Mesuji ke Disdukcapil setempat untuk dicek kembali.."Tetapi Disdukcapil tidak menemukan data administrasinya," ujar dia pula.

Namun, ia menegaskan, KPU Mesuji akan mengambil kebijakan, jika mereka, warga Moromoro itu maupun warga lainnya di Mesuji memiliki dokumen KTP elektronik atau suket yang dikeluarkan oleh Disdukcapil, maka bisa memilih di TPS sesuai alamat KTP-el atau suket itu.

Sedikitnya 1.500 hingga 2.000 warga di Moromoro, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung yang tinggal di kawasan Register 45 Sungai Buaya terancam kehilangan hak pilih pada Pemilu 2019 ini karena hingga kini belum diperoleh kepastian terdaftar sebagai pemilih.

Sebanyak sekitar 700-an KK warga tinggal di Moromoro, Register 45 Sungai Buaya, Mesuji itu, dan seharusnya 1.500 hingga 2.000 warga di antaranya punya hak pilih, tapi oleh pemerintah selama ini sebagai warga yang tinggal di kawasan "terlarang", sehingga tidak memiliki dokumen kependudukan yang diperlukan. Sebagian besar mereka tak memiliki KTP-elektronik atau suket.

Menurut Sahrul Sidin, Ketua PPMWS di Mesuji, Rabu (10/4), warga telah berusaha mendatangi sejumlah pihak untuk memastikan hak pilih mereka pada Pemilu 2019 ini, namun hingga kini belum memperoleh kepastian.

"Bagaimana ini, kami ini warga negara Indonesia dan tinggal di Indonesia, seharusnya hak pilih kami diperhatikan," ujar Sahrul, didampingi sejumlah pengurus PPMWS dan perwakilan warga Moromoro itu pula.

Anak Agung Ngurah Husada, pengacara selaku pendamping warga dalam memperjuangkan hak pilih itu, menyatakan sejumlah upaya telah dilakukan warga Moromoro dari pedusunan Simpang Asahan, Moro Dewe, Moro Seneng, Moro Dadi, dan Suka Makmur untuk mendapatkan kepastian.

"Kami masih terus memperjuangkannya. Kami sudah datangi KPU Kabupaten Mesuji dan Disdukcapil tapi belum juga ada kejelasan tentang hak konstitusional warga negara Indonesia yang seharusnya punya hak pilih yang harus dihormati," ujarnya lagi.

Padahal dalam Pemilu 2004 dan 2014, ribuan warga tersebut mendapatkan hak pilih dan bisa mengikuti pemilu saat itu. Namun saat ini kendati hanya tinggal sepekan lagi menjelang hari H Pemilu 17 April 2019, mereka belum mendapatkan kepastian apakah bisa memilih atau tidak.

"Kami masih akan mempertanyakannya kembali ke Bupati Saply TH dan Pemkab Mesuji, untuk memastikan hak pilih kami pada Pemilu 2019 ini tidak hilang," kata Nyoman Sudanra, warga Moromoro yang didaulat sebagai "Ketua RT" di lingkungan Dusun Simpang Asahan ini pula.

Menurut Sahrul Sidin dan Anak Agung Ngurah Husada, mereka umumnya sudah tinggal di sini sejak tahun 1994 hingga sekarang.

Selain itu, sejumlah warga lain yang tinggal di sekitar Register 45, sebagian di antaranya justru dapat menggunakan hak pilih dan memiliki dokumen kependudukan yang diperlukan.

"Kenapa perlakuan terhadap kami warga Moromoro berbeda. Mustinya jangan selalu dikaitkan dengan persoalan larangan tinggal di Register 45, karena bagaimana pun kami sudah bertahun-tahun di sini, seharusnya mendapatkan kepastian sebagai warga negara dan berhak memiliki keabsahan dokumen kependudukan serta hak pilih yang juga harus dihormati oleh negara dan konstitusi. Persoalan konflik agraria seharusnya tidak menghilangkan hak politik warga di sini," kata Sahrul Sidin pula.

"Kalau memang kami dianggap warga negara yang ilegal, kenapa pula pemerintah tidak segera mencarikan solusinya yang terbaik bagi kami, kenapa kami dibiarkan terombang-ambing seperti ini terus. Kami juga berhak hidup dan berkembang di sini, dengan hak-hak yang seharusnya kami miliki sebagai warga negara," ujar Sahrul Sidin lagi.

Data dari KPU Mesuji, daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 di Kabupaten Mesuji sebanyak 153.674 orang, yaitu pemilih laki-laki 79.759 orang, dan pemilih perempuan 73.915 orang.

Kawasan Register 45 Sungai Buaya di Mesuji, masuk dalam wilayah Kecamatan Mesuji Timur atau Way Serdang di Kabupaten Mesuji. KPU Mesuji menyampaikan pula, untuk Kecamatan Way Serdang jumlah DPT Pemilu 2019 mencapai 31.482 orang, yaitu pemilih laki-laki 16.211 orang dan perempuan 15.271 orang. Sedangkan DPT di Kecamatan Mesuji Timur yaitu 25.601 orang pemilih, dengan rincian pemilih laki-laki 13.414 orang, dan pemilih perempuan 12.187 orang.

Ketua KPU Mesuji Ali Yasir memastikan, bila ada warga Moromoro membawa suket dan datang ke TPS pasti dilayani sepanjang surat suara masih ada. "Suket itu yang dikeluarkan oleh Disdukcapil Mesuji," katanya lagi.

Warga Moromoro menegaskan akan terus memperjuangkan hak pilih mereka kepada pihak berwenang hingga menjelang hari H Pemilu 2019, termasuk mengupayakan berbagai solusi atas permasalahan keabsahan domisili mereka di kawasan Register 45 Sungai Buaya ini pula.

Mereka menegaskan hak pilih bagi warga Moromoro ini adalah hak konstitusional semestinya tetap diberikan oleh pihak berwenang tanpa mengaitkannya dengan kondisi permukiman mereka tinggal di kawasan "terlarang" ini.

Namun mereka juga tetap mempertanyakan keabsahan domisili di wilayah Register 45 dimaksud, mengingat sudah menempati kawasan ini hingga belasan tahun sampai sekarang sudah berkembang menjadi kawasan permukiman warga umumnya.

Hanya saja di Moromoro ini tidak ada pemerintahan desa sebagaimana lazimnya, karena pemerintah di sini tak mengakui keberadaan mereka secara sah. Secara administratif warga Moromoro pun umumnya tidak tercatat sebagai penduduk yang sah.

Sejumlah pengamat hukum dan sosial serta beberapa aktivis di Lampung justru mendesak pemerintah pusat segera turun tangan mengatasi permasalahan masih dihadapi warga di sini, dan pemerintah daerah beserta jajarannya juga bersama-sama mendorong adanya solusi terbaik "win-win solution" menangani mereka, karena hampir tidak mungkin "mengusir" atau membersihkan wilayah yang sudah ditinggali ribuan warga dengan tempat tinggal permanen beserta berbagai sarana lainnya ini hanya karena kawasan ini adalah areal HGU perusahaan tertentu.

Dr Oki Hajiansyah Wahab, akademisi dan peneliti hukum dan sosial kemasyarakatan yang pernah meneliti warga Moromoro menegaskan, seharusnya pihak berwenang segera mencarikan solusi komprehensif dan terbaik bagi warga Moromoro, tidak membiarkan dalam kondisi "tak jelas" dan terus terombang-ambing seperti sekarang ini. Bukan saja terkait hak politik untuk dapat menggunakan hak pilih pada Pemilu 2019 nanti, tapi juga hak-haknya untuk hidup sejahtera, mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan dan lainnya secara layak sebagai warga negara sah di negeri ini.

"Siapa yang bisa memutuskan itu, tentu saja pemerintah dan institusi berwenang terkait, terutama di pusat dan daerah," ujar Oki lagi.

Ia mengingatkan, meski tak terdata secara resmi/administratif sebagai warga di wilayah tertentu, karena tak bisa didata sebagai penduduk sah Moromoro dalam kawasan "terlarang" ini, seharusnya hak politik dan hak-hak dasar lainnya bagi warga Moromoro tetap harus didapatkan. Bagaimanapun mereka adalah warga negara Indonesia secara "de fakto" yang sah meskipun tak memiliki dokumen kewarganegaraan umumnya (de jure).

Warga Moromoro pun menantikan kepastian keabsahan domisili dan nasib penghidupan mereka ke depan, terutama status sebagai warga negara yang sah di wilayah ini.

Perjuangan itu pun sudah dilakukan beberapa tahun ini, dan masih terus akan diupayakan oleh warga Moromoro dibantu berbagai pihak pendamping,meskipun hingga kini belum ada kejelasannya mereka menyatakan tak akan pernah berputus asa untuk meraih semua hak yang layak dipenuhi tersebut.

Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019