"Target pertumbuhan pemerintahan Jokowi cukup optimis, yakni 7 persen. Tapi semua pertumbuhan ekonomi global melambat. Amerika saja pertumbuhan ekonomi 2,9 persen. Indonesia tidak terlalu buruk, tapi juga tidak terlalu baik," kata Rosdiana Sijabat dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Rosdiana membandingkan pertumbuhan ekonomi Singapura di tahun 2018 juga hanya 3 persen, sementara Vietnam dan Kamboja mencapai 6 persen.
Menurut dia, pertumbuhan 5,2 persen di Indonesia adalah angka yang patut disyukuri untuk perekonomian yang sedang sepi.
"Sebab faktor eksternal ini tidak bisa 100 persen kita atur. Di Asia Tenggara terjadi pelemahan permintaan barang dan jasa. Perekonomian global akan menekan perekonomian kita. Jadi siapapun nanti yang terpilih, bagaimana meningkatkan aktivitas ekonomi dari sisi rumah tangga," paparnya.
Ia juga mengatakan tantangan pembangunan ekonomi Indonesia ke depan sangat berat, karena faktor internal atau dalam negeri, dan eksternal. Faktor eksternal adalah terjadi pelambatan kinerja ekonomi kawasan.
Secara terpisah Direktur Komunikasi Politik TKN Jokowi-Ma'ruf, Usman Kansong mengatakan, meski pertumbuhan ekonomi lima persen tidak mencapai target, namun jika melihat perekonomian global maka angka itu patut disyukuri.
"Dibandingkan negara G20, kita di nomor 3 setelah Tiongkok dan India. Kenapa dibandingkan dengan G20?, karena size ekonominya besar," ujarnya.
Pengamat politik Emrus Sihombing berpendapat, isu utang selalu disebut dalam politik ekonomi pemerintahan, padahal ia mengingatkan bahwa tidak ada satupun pemerintahan di Indonesia yang tidak berutang.
"Semua (presiden) membuat utang, hanya sejauh mana utang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk korupsi. Jangan menggunakan kekuasaan untuk koruptif sehingga utang tidak digunakan dengan baik. Saya berpendapat, tidak ada yang tanpa utang. Kalau utang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, saya kira tidak masalah," ujarnya.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019