Mereka yang dari kabupaten, biasa menumpang kampanye di acara-acara warga seperti Gawai (pesta panen padi) atau pesta pernikahan dengan membagikan brosur

Pontianak (ANTARA) - Berbekal ponsel android, tanpa brosur ataupun contoh surat suara di tangan, seorang relawan demokrasi berkeliling dusun di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Pada pekan ke empat Maret 2019, relawan demokrasi berbasis berkebutuhan khusus berada di antara para tukang ojek motor yang berkerumun di batas negeri. Menunjukkan aplikasi Pemilu KPU 2019 yang tersedia di telepon seluler, sambil menjelaskan satu demi satu apa yang ada dalam tampilan layar teleponnya.

Sementara mereka yang berkerumun itu, sesekali terlihat mengangguk paham, namun kebanyakan diam membisu. Ketika ditanya pahamkah mereka, satu dua orang menjawab dengan malu-malu, sambil berujar, "kami tak tahu calon legislatif dari daerah sini (perbatasan)."

"Setahu saya, hanya ada dua yang masuk daftar itu, calon dari daerah sini. Tapi yang satu lagi bukan asli Jagoi Babang," ujar Lejian (40), salah satu tukang ojek.

Ia melanjutkan, bagi dia sendiri yang tinggal jauh di ujung negeri Indonesia, tak berharap banyak untuk pemilu kali ini. Dia hanya berharap ada calon legislatif dari daerah asal mereka. Sehingga ketika tiba pemilihan umum, warga Jagoi Babang menjadi lega karena tahu suara dukungan mereka tak terbuang percuma.

"Kalau bukan calon dari sini yang kami pilih, bagaimana aspirasi kami akan sampai ke pemerintah?" katanya setengah bertanya. Di Jagoi Babang sedianya akan ada 26 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di enam desa dengan jumlah pemilih 5.582 orang.

Lejian adalah Sekretaris Persatuan ojek desa Jagoi Babang. Dirinya dan sebanyak 72 tukang ojek, menjual jasa mengantar ratusan pedagang Indonesia yang berjualan di pasar Serikin, Malaysia pada tiap Kamis tengah malam hingga Jumat siang dalam setiap pekannya. Dia menjadi tukang ojek perbatasan sejak tahun 1995, saat kawasan tersebut masih hutan belantara.

Kini kawasan itu sudah ada pos terbatas dari Indonesia yang dijaga aparat Bea dan Cukai, dan dari pihak Malaysia dijaga Askar (Tentara Diraja Malaysia). Penduduk setempat masuk ke wilayah Malaysia menggunakan pas lintas batas (PLB), berupa buku serupa paspor berwarna merah.

Tak bisa baca tulis atau buta aksara, juga satu persoalan lainnya bagi warga perbatasan, ketika mereka ingin berpartisipasi dalam pemilu.

Apalagi kertas suara untuk pemilu kali ini, tak ada foto-foto para calon legislatif, baik untuk caleg DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, maupun DPR RI. Mereka mengaku bingung karena nantinya seperti membeli "kucing dalam karung".

Beberapa relawan demokrasi yang ditemui di Jagoi Babang mendengar keluhan itu terlontar dari para pemilih yang rata-rata berusia tua dan sudah punya pengalaman mengikuti Pemilu 2014. Sebagian dari pemilih itu, mengaku tak bisa baca tulis. Terutama yang tinggal di daerah terpencil, sehari-hari hidup bertani dan berladang (pelaku ladang berpindah).

"Saya saat tanggal 15 Maret berkunjung ke Dusun Lawang, di Siding (kecamatan Siding). Tanggapan mereka senang dan mau tahu. Tetapi yang membingungkan bagi mereka, ada kertas suara tak ada fotonya," kata Didi Supriadi, relawan demokrasi dari Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang.

Dia menyatakan, saat mengunjungi Dusun Lawang, Desa Tangguh yang berada di Gunung Kampung Lawang, berjumpa pemilih yang tak bisa baca tulis itu.

"Mereka menyambut kedatangan saya dengan senang. Kemudian mendengarkan penjelasan saya," kata Didi. Untuk mencapai dusun itu, dia berjalan kaki selama 3 jam.

Di dusun yang berbatasan dengan Malaysia, di balik Gunung Sinjang itu, Didi berjumpa para peladang berpindah. Ada 30 kepala keluarga. "Mereka senang ada pemilu, tapi bingung akan memilih siapa," kata pria usia 28 tahun itu.

Mengenai pemilih tak bisa baca tulis juga dibenarkan Ketua Dewan Adat Dayak wilayah perbatasan Bengkayang, Gustian Andiwinata. Ia mengaku masih ada pemilih di pedalaman Bengkayang yang buta aksara. Mereka berada pada usia di atas 40 tahun ke atas.

Berbeda dengan Pemilu 2014, pemilih buta aksara itu tak menemukan kendala berarti saat memilih, karena ada gambar calon legislatif. Tapi untuk Pemilu 2019, mereka tentu akan bingung. "Mau pilih siapa? bingung mereka...," kata Pelaksana tugas Camat Seluas itu.

Wilayah Kabupaten Bengkayang yang berbatasan dengan Malaysia meliputi Kecamatan Seluas, Siding, dan Jagoi Babang. Ketiga kecamatan itu berjarak tempuh sekitar 2 jam perjalanan dari Bengkayang dengan berkendaraan roda empat.

Wilayah yang paling dekat dengan Malaysia, adalah Jagoi Babang. Jaraknya hanya "selemparan batu", dengan berkendaraan motor selama 15 menit melintasi perkebunan sawit sudah tiba di wilayah terdepan Malaysia, daerah Bau (Serikin).

Relawan demokrasi dari basis perempuan, Nuraini (30) menyatakan saat berkunjung ke desa Jagoi Belida masih di kecamatan Jagoi Babang, beberapa waktu lalu, juga mendapati pemilih yang tidak bisa baca tulis.

Pada akhirnya dia menyarankan agar pemilih itu tetap datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan ikut mencoblos sesuai hati nurani.

"Kita hanya bisa minta mereka datang ke TPS tanggal 17 April nanti dan tidak golput," kata guru SMA di Bengkayang itu.

Mengenai siapa yang akan dipilih, Nuraini menawarkan solusi agar mereka bertanya kepada keluarga terdekat, siapa kira-kira yang memang layak mewakili mereka di lembaga legislatif ke depannya.

"Kita tak bisa mengarahkan mereka. Cukup sampaikan yang umum-umum saja, misalnya tanggal pemilu, warna surat suara dan nama-nama partai politik," katanya menjelaskan.

Ia menyatakan warga antusias untuk memilih dalam pemilu mendatang. Saat mati lampu pun tetap semangat mendengarkan sosialisasi.

Dia menganjurkan agar mereka meluangkan waktu sekitar satu jam sejak pukul 7 pagi pada tanggal 17 April, untuk datang ke TPS. "Mereka yang merupakan ibu-ibu ada 25 orang, antusias dan berminat hadir ke TPS untuk memilih," katanya lagi.

Anggota KPU Kabupaten Bengkayang, Eka Lindawati, mengakui telah mendapatkan keluhan serupa dari hasil sosialisasi relawan demokrasi. Di Bengkayang sendiri ada 55 relawan demokrasi yang bekerja berdasarkan pembagian untuk 11 basis.

"Khusus buta aksara seperti itu, memang tidak masuk dalam basis disabilitas," kata Eka.

Sedangkan pemilih disabilitas yang ada di Bengkayang sudah terdata, meliputi tuna daksa (11 pemilih), tuna netra (68 pemilih), tuna rungu atau wicara (103 pemilih), tuna grahita (63 pemilih), dan disabilitas lainnya (116 pemilih). Pemilih berdasarkan Daftar pemilih tetap hasil perbaikan kedua (DPTHP-2) KPU Bengkayang mencapai 179.006 orang dan berada di 17 kecamatan.

Namun Eka menambahkan, laporan akan adanya warga bingung memilih karena buta aksara tersebut tetap menjadi catatan bagi KPU dan menjadi bahan evaluasi ke depan. "Pasti bukan hanya di Bengkayang ada keluhan ini. Saya yakin daerah lain pun sama," kata perempuan itu.

Relawan pemilu mensosialisasikan cara mencoblos kepada masyarakat di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. (Nurul Hayat)

Tak sabar memilih

Meski ada kebingungan dari pemilih di perbatasan Indonesia-Malaysia, namun sesungguhnya mereka cukup antusias menyambut Pemilu 2019. Masyarakat ingin pemilu segera digelar dan cepat tahu siapa yang terpilih menjadi Presiden Indonesia.

Untuk diketahui, Pemilu Presiden 2019 diikuti dua pasangan calon, yakni pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin, dan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dari kedua pasangan calon presiden itu, menurut Gustian Andiwinata, warga perbatasan sudah sejak lama punya pilihan untuk calon presiden. "Silakan tanya satu persatu dari mereka, pasti jawabannya sama," katanya berterus terang.

Baca juga: Warga Moromoro tak mau golput

Menurut dia lagi, tak ada yang mengerahkan warga perbatasan akan memilih siapa calon presiden mendatang. Karena tak ada elit partai yang berkunjung ke daerah tersebut untuk berkampanye.

Selain jauh, warga pun disibukkan dengan aktivitas sehari-hari yang bekerja sebagai petani padi dan pekebun sawit ataupun karet.

Saat pagi hingga sore hari, kebanyakan dari warga bekerja sebagai petani dan berladang. Pertemuan warga baru dapat dilaksanakan pada malam hari baik di rumah salah satu warga atau pun menumpang aula pertemuan dan rumah ibadah.

Sementara spanduk ataupun baliho yang bertebaran di kawasan perbatasan tak sebanyak di kota setingkat kecamatan.

Dari perjalanan menuju Seluas, Jagoi Babang, hingga Siding sekitar dua jam dari kota Bengkayang, tampak baliho atau spanduk partai-partai tertentu yang populer sejak lama di daerah setempat.

Menurut warga, para caleg yang berkampanye ke tempat mereka sebagian besar dari ibu kota kabupaten (Bengkayang), sedangkan dari provinsi untuk DPRD provinsi dan DPR RI, hampir bisa dihitung dengan jari, tak sampai 10 orang.

"Mereka yang dari kabupaten, biasa menumpang kampanye di acara-acara warga seperti Gawai (pesta panen padi) atau pesta pernikahan dengan membagikan brosur," kata Uday Gomersyah, anggota Panwas kecamatan Jagoi Babang. Tingkat pelanggaran kampanye relatif kecil, hanya pada jumlah spanduk dan baliho.

Seorang warga Seluas, Jimer (58), mengaku sudah punya pilihan untuk pemilu presiden. Tetapi masih bingung untuk pemilu legislatif, karena tak kenal satu persatu dari para caleg yang ada.

Ia menyatakan tak sabar menunggu pemilu, supaya cepat selesai dan kembali ada pembangunan di daerahnya.

"Sekarang sudah senang, ada jalan bagus di sini. Orang-orang dari Siding dan kampung di dalam sana, biasa belanja ke sini," kata pedagang lelang (pakaian bekas dari Malaysia), seolah memberi tanda siapa calon presiden yang akan dipilihnya.

Sementara menurut anggota KPU Eka Lindawati lagi, peran relawan demokrasi sangat membantu dalam menggerakkan masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2019. "Sangat efektif. Mereka aktif mensosialisasikan pemilu bahkan sampai ke pedalaman dan daerah terpencil," katanya.

Relawan demokrasi, menurut dia, menjangkau masyarakat dari berbagai basis yang ada. Mereka bisa masuk ke dalam komunitas masyarakat.

Untuk masyarakat perbatasan, masuk dalam basis berkebutuhan khusus, sama seperti mereka yang berada dalam lingkungan perusahaan perkebunan sawit.

Tetapi dari basis lain pun, seperti basis perempuan, juga bisa menjangkau pemilih di perbatasan. "Jadi mereka secara bergantian mengisi sosialisasi di perbatasan," kata anggota KPU tersebut.

Karena itu, meski jauh dari pusat pemerintahan dan berada di batas negeri, banyak warga perbatasan tahu pemilu akan segera digelar. Mereka tak sabar menunggu tibanya hari pencoblosan 17 April, kata anggota KPU tersebut.

Baca juga: Gairah berdemokrasi dari Lembah Lalomerui
​​​​​​​

Baca juga: Bihe ingin didengar pada Pemilu 2019

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019