Jakarta (ANTARA News) - Bersatu kita utuh, bercerai kita runtuh. Kata-kata bijak itu, lebih tepatnya slogan itu, tiba-tiba saja muncul di benak saya ketika Susana Gomez, pemandu wisata, menjelaskan kejatuhan Alhambra, Kerajaan Islam di Granada, Spanyol. Saya berada di Alhambra pekan lalu dan miris mendengarkan kisah jatuh bangunnya kerajaan Islam yang selama hampir delapan abad berkuasa di Spanyol, dari Kordoba sampai Granada yang disebut sebagai wilayah Andalusia. Saya berdiri di sebuah benteng di Istana yang puing-puingnya berwarna merah bata. Mungkin karena arsitektur yang didominasi warna merah itulah maka Istana di bukit La Sabica itu dinamai Alhambra, yang dalam bahasa Arab berarti Istana Merah. Takjub melihat keindahan, lebih-lebih menyadari betapa Islam pernah berjaya sampai ke Eropa sampai kejatuhannya di abad ke-14. Sedih, karena Alhambra kini tidak lebih dijadikan obyek wisata, dimana para turis berdecak namun kemudian menelan ludah. Susana, si pemandu wisata yang molek, dengan bersemangat menceritakan bahwa Alhambra didirikan oleh Sultan Muhammad bin Ahmar, raja bangsa Moor yang berasal dari Afrika Utara, pada abad ke-12. Sultan Muhamad masih keturunan Said bin Ubaidah, seorang sahabat Rasulullah SAW dari suku Khazraj di Madinah. "Alhambra mulai dibangun tahun 1238. Mula-mula hanya berupa benteng kecil. Abad demi abad dikembangkan oleh penerus Dinasti Al-Ahmar sehingga menjadi kompleks Istana yang megah dan indah," tutur wanita berambut merah itu. Betul kata Susana. Dari reruntuhan masih bisa disaksikan kemegahan dan keindahan Alhambra. Ornamen khas peradaban Islam mewarnai setiap lekuk bangunan yang masih ada. Tulisan huruf Arab "Laa ghaliba illalah" (tiada kejayaan selain Allah) terpahat di berbagai dinding. Mungkin tentara-tentara Islam yang menaklukkan Andalusia perlu memahat tulisan itu di setiap pojok Istana untuk mengingatkan diri agar tidak mabuk kemenangan. Ada taman asri di setiap penjuru, parit dan kolam air mancur di setiap kawasan Istana. Teras-teras dari batu marmer. Ruang-ruang dengan kaligrafi Arab dengan ukiran khas yang tiada tandingannya. Patung-patung singa. Menara. Benteng-benteng yang menjulang. Meriam-meriam yang siap menembak. Dan, sebuah mesjid besar yang dinamakan Mesjid Al-Mulk. Dari produk yang dijual di toko-toko souvenir bisa ditelusuri bahwa pada masa kejayaannya, Istana Alhambra dipenuhi dengan barang-barang berharga seperti perhiasan logam mulia, perak, keramik dan permadani indah. Selama berabad-abad, Kerajaan Bani Ahmar merupakan negara yang disebut dalam wacana terminologi Islam sebagai "baldatun toyibatun warobbun ghofur" alias "gemah ripah loh jinawi". Namun, disinilah hilafnya, kata orang Malaysia. Setelah 260 tahun berkuasa, anak pinak khalifah Bani Ahmar mulai bertengkar dan berselisih. "Mereka mulai memperbutkan kekuasaan. Sebagian saling bunuh," kata Allen Simarmata, diplomat Indonesia pada KBRI Madrid. Ketika bersatu Alhambra kuat. Ketika mulai bercerai berai, Dinasti Bani Ahmar memudar. Pertikaian internal membuat Alhambra makin terpuruk. Sebaliknya musuh-musuh menguat dan bersatu padu menggilas Alhambra. Betapapun gigihnya usaha Sultan Muhammad XII, raja terakhir Bani Ahmar, untuk menyelematkan kerajaannya, pada akhirnya runtuh juga. Dua kerajaan Kristen yang bersatu "Raja Ferdinand V dari Aragon dan Ratu Isabella dari Castille" berhasil menaklukan Alhambra pada 2 Januari 1492. Untuk itu, Paus Alexander VI (1431-1503) memberi gelar raja dan ratu ini sebagai "Los Reyes Catolicos" atau Raja/Ratu Katolik. Berakhirlah kejayaan Islam di Spanyol. Dimulailah abad kegelapan bagi kaum Muslimin di Andalusia. "Hanya ada tiga pilihan bagi kaum Muslimin: keluar dari Spanyol, pindah agama kalau mau menetap, atau dibunuh kalau tidak mau keluar dan menjadi Katolik," kata Bayu, diplomat lain dari KBRI Madrid. Perpustakaan-perpustakaan Islam dibakar. Bangunan-bangunan Istana dihancurkan. Barang-barang Istana dijarah. Kaligrafi dihapus. Mesjid Al-Mulk yang menjadi salah satu ikon Alhambra dijadikan gereja Katolik. Begitu juga Mesjid Kordoba yang megah dialihkan menjadi Gereja Santa Maria de la Sede. Raja Prancis Count Sebastiani yang menguasai Spanyol memporak-porandakan benteng dan sejumlah menara pada 1812. Belakangan tentara Napoleon menambah kerusakan Alhambra karena menjadikan kawasan itu sebagai barak prajurit. Menurut Wikipedia, Napoleon bahkan berusaha meledakan seluruh komplek Istana. Namun, sebelum rencana gila itu terjadi, seorang prajurit yang tidak menghendaki warisan sejarah itu dibumihanguskan, menjinakan sebagian bahan peledak sehingga Istana Alhambra tidak hancur semua. Masih ada sisa-sisa yang bisa menjadi tanda kejayaan Islam di Spanyol. Itulah yang saya lihat dengan mendecak dan kemudian menunduk sedih.(*)
Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007