Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengimbau agar masyarakat dan media tidak mempublikasikan dan menyebarluaskan identitas anak-anak yang merupakan korban dan pelaku penganiayaan di Pontianak, Kalimantan Barat untuk melindungi kepentingan anak dan masa depan mereka.

Kasus penganiayaan itu menimpa seorang siswi sekolah menengah pertama yang berumur 14 tahun. Penganiayaan itu dilakukan oleh sejumlah siswi sekolah menengah atas (SMA) pada 29 Maret 2019, di kawasan belakang Pavilion Informa di Jalan Sulawesi, Pontianak, sekitar pukul 14.30 WIB.

"Sebenarnya dalam Undang-undang Sistem Peradilan Anak, di pasal 19 di situ identitas anak, anak korban, saksi wajib dirahasiakan pemberitaan media cetak atau elektronik," kata Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu kepada wartawan di Kementerian PPPA, Jakarta, Kamis.

Identitas yang harus dilindungi tersebut mencakup antara lain nama anak korban, saksi, orang tua, wajah, alamat sampai sekolah.

"Jadi kalau kita mengedarkan ini (identitas dari pihak yang harus dilindungi) sudah melanggar Pasal 19 Undang-undang Sistem Peradilan Anak, dan kita melihat filosofinya kalau anak itu adalah individu yang masih membutuhkan pendampingan orang tua. Nanti orang tuanya juga harus didampingi, supaya dia bisa memahami bagaimana mengasuh anak dengan baik," ujarnya.

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar mengatakan berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dengan tegas mengatakan tidak boleh sembarangan mempublikasikan anak-anak yang berhadapan dengan hukum.

Menurut dia, publikasi identitas itu merupakan hukuman sosial yang lebih mengerikan yang dapat mengancam masa depan anak-anak itu baik korban maupun pelaku penganiayaan.

"Menampakkan dengan jelas identitas nama, orang tua, gambar dan segala macam akan menjadi kekerasan baru dan akan menghambat masa depan anak itu," ujarnya.

Dengan beredarnya identitas anak-anak itu, maka ada kemungkinan bagi masyarakat yang tadinya tidak tahu dan tidak bermasalah dengan anak-anak itu akan melakukan perundungan pada pelaku penganiayaan.

"Hukum sosial malah lebih mengerikan menurut saya dari pada hukuman badan karena itu larinya psikis. Begitu hukuman sosial, psikis anak terganggu, itu bisa mendapatkan dampak permanen seumur hidupnya. Yang kita khawatirkan masa depan mereka hilang dan kalau itu kita biarkan akan banyak anak yang menunggu kehilangan masa depan," tuturnya.

Oleh karena itu, dia mengharapkan seluruh pihak untuk menahan diri dan tidak menyebarluaskan identitas serta berita palsu yang dapat memperkeruh persoalan.

Dia juga mengimbau seluruh masyarakat untuk menghargai dan memastikan proses hukum berjalan dengan baik, serta penanganan terhadap anak korban dan pelaku penganiayaan dilakukan dengan tepat.

"Mari kita sama-sama mengawal. Ini bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya," tuturnya.

Baca juga: KPPPA: tiga pelaku penganiayaan AY di Pontianak alami depresi
Baca juga: KPPPA-lintas sektor dampingi korban-pelaku kekerasan anak Pontianak
Baca juga: Ajarkan anak pola persahabatan yang konstruktif, kata pengamat

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019