Lampung (ANTARA) - Jamari (63), salah satu warga di Moromoro, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung berharap pada Pemilu 2019 ini dapat menggunakan hak pilihnya bersama ribuan warga setempat lainnya.

“Kami juga warga negara Indonesia, kami juga ingin memilih untuk menentukan pemimpin kami,” ujar Jamari, salah satu dari ribuan warga Moromoro dalam Pemilu 2019 ini terancam kehilangan hak pilihnya karena belum dipastikan masuk dalam daftar pemilih tetap di wilayah ini.

Padahal ia salah satu dari sekitar 12 orang yang awal mencoba mendapatkan penghidupan baru di wilayah Register 45 Sungai Buaya di Mesuji. Wilayah ini adalah kawasan register dalam hak kelola hak guna usaha (HGU) perusahaan PT Silva Inhutani seluas sekitar 43.100 ha.

Menurut Jamari, kini hanya tinggal tiga orang dari belasan warga yang datang awal ke Moromoro masih hidup, selebihnya sudah meninggal dunia, dan sebagian lain memilih meninggalkan Moromoro dan berpindah mendapatkan penghidupan di tempat lain yang diharapkan lebih baik.

Saat ini di kawasan Moromoro saja dihuni sedikitnya 650 kepala keluarga dengan sekitar 3.000-an jiwa. Kawasan ini berada persis di sisi Jalan Lintas Timur (Jalintim) Sumatera di wilayah Kabupaten Mesuji. Jalintim yang padat, menghubungkan Provinsi Lampung dengan Sumatera Selatan dan wilayah lain di Sumatera, serta gerbang menuju Pulau Jawa.

Moromoro telah berkembang menjadi lima pedusunan, yaitu Simpang Asahan, Moro Dewe, Moro Senen, Moro Dadi, dan Suka Makmur. Kawasan ini masuk wilayah Kecamatan Mesuji Timur dan Way Serdang di Kabupaten Mesuji, berbatasan dengan wilayah Indraloka, Kabupaten Tulangbawang Barat.

Semula kabupaten induknya adalah Tulangbawang, dan telah dimekarkan menjadi Kabupaten Tulangbawang Barat dan Kabupaten Mesuji.

Di kawasan Register 45 Sungai Buaya, selain Moromoro, berkembang pula permukiman dan kawasan perkebunan rakyat ditanami karet maupun singkong yang dikelola warga, yaitu kawasan Labuhan Indah, Pekat, dan Karya-karya. Selain itu masih terdapat puluhan ribu hektare kebun karet dikelola perusahan (PT Silva Inhutani) dengan hak guna usaha (HGU) yang dimiliki.

Sedikitnya 1.500 warga di Moromoro, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung yang tinggal di kawasan Register 45 Sungai Buaya terancam kehilangan hak pilih pada Pemilu 2019 ini karena hingga kini belum diperoleh kepastian terdaftar sebagai pemilih.

Sekitar 620 KK warga Moromoro itu seharusnya punya hak pilih tapi oleh pemerintah dinyatakan sebagai warga yang tinggal di kawasan terlarang sehingga tak ada akses dokumen kependudukannya. Mereka tak memiliki KTP-elektronik.

Baca juga: Semarak Pemilu di Pulau Buru

Menurut Sahrul Sidin, Ketua Persatuan Petani Moromoro Way Serdang (PPMWS) di Mesuji, Kamis (11/4), warga telah berusaha mendatangi sejumlah pihak untuk memastikan hak pilih mereka pada Pemilu 2019 ini, namun hingga kini belum memperoleh kepastian.

Upaya warga untuk mendapatkan kepastian hak pilih itu sudah dilakukan ke sejumlah instansi pemerintah di Kabupaten Mesuji, termasuk ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mesuji. Namun belum diperoleh kejelasannya.

Sekretaris PPMWS Kadek Tike (35) menyatakan, pemerintah dan instansi berwenang termasuk KPU Mesuji menyatakan warga belum bisa didaftarkan sebagai pemilih karena tidak memiliki dokumen kependudukan yang sah.

“Kami memang tinggal di kawasan Register 45 yang merupakan areal HGU perusahaan PT Silva Inhutani, tapi kami sudah bertahun-tahun berdiam di sini,” ujar Kadek Tike pula.

"Bagaimana ini, kami ini warga negara Indonesia dan tinggal di Indonesia, seharusnya hak pilih kami diperhatikan," ujar Ketua PPMWS Sahrul Sidin, didampingi sejumlah pengurus PPMWS dan perwakilan warga Moromoro itu pula.

Anak Agung Ngurah Husada selaku pendamping warga dalam memperjuangkan hak pilih itu, menyatakan sejumlah upaya telah dilakukan warga Moromoro dari pedusunan Simpang Asahan, Moro Dewe, Moro Seneng, Moro Dadi, dan Suka Makmur untuk mendapatkan kepastian.

"Kami masih terus memperjuangkannya. Kami sudah datangi KPU Kabupaten Mesuji dan Disdukcapil tapi belum juga ada kejelasan tentang hak konstitusional warga negara Indonesia yang seharusnya punya hak pilih yang harus dihormati," ujarnya lagi.

Padahal dalam Pemilu 2004 dan 2014, ribuan warga tersebut mendapatkan hak pilih dan bisa mengikuti pemilu saat itu. Namun saat ini kendati hanya tinggal sepekan lagi menjelang hari H Pemilu 17 April 2019, mereka belum mendapatkan kepastian apakah bisa memilih atau tidak.

"Kami masih akan mempertanyakannya kembali ke Bupati dan Pemkab Mesuji, untuk memastikan hak pilih kami pada Pemilu 2019 ini tidak hilang," kata Nyoman Sudanra.

Menurut Sahrul Sidin dan Anak Agung Ngurah Husada, mereka umumnya sudah tinggal di sini sejak tahun 1994.

Baca juga: Geliat demokrasi di perbatasan Sarawak

Jamari yang mengaku termasuk generasi awal warga masuk ke Moromoro menuturkan secara berangsur dengan inisiatif sendiri tanpa ada yang mengoordinir sejak tahun 1994 belasan orang berdatangan ke wilayah ini. Saat itu masih berupa rimba, dipenuhi belukar dan pepohonan. Tanaman perkebunan berada di sisi Jalan Lintas Timur Sumatera saja, sehingga warga bisa mengolah lahan di kawasan agak masuk ke dalam.

Tak ada fasilitas penghidupan yang layak saat itu, Jamari dan anak istri menggelar tenda dan tidur seadanya. Sesekali pada malam hari binatang buas muncul. “Kalau hujan pun kehujanan, tapi kami tetap bertahan di sini untuk berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” katanya.

Kawasan ini kemudian dikenal sebagai “moromoro” yang berarti berdatangan dengan sendirinya.

Setelah itu, apalagi pascareformasi 1998, gelombang warga—tanpa dikomando—masuk ke Moromoro tanpa bisa dicegah oleh siapa pun.

Ribuan warga kini telah tinggal di Moromoro pada lima pedusunan, bertetangga dengan wilayah sekitar, termasuk kawasan Indraloka, permukiman warga eks-PT BNIL yang direlokasi pemerintah di wilayah Kabupaten Tulangbawang Barat, persis berbatasan dengan pedusunan Simpang Asahan, Moromoro.

Jalan di depan dua kawasan ini menjadi pembatasnya, sisi kiri warga Indraloka, Tulangbawang Barat dan sisi kanan warga Moromoro, Kabupaten Mesuji. Sisi kiri warga yang diakui sah sebagai warga negara oleh pemerintah, dan sisi kanan hingga kini umumnya belum memiliki keabsahan dokumen kependudukan karena dinilai tinggal di wilayah “terlarang”.

Selain itu, sejumlah warga lain yang tinggal di sekitar Register 45, sebagian di antaranya justru dapat menggunakan hak pilih dan memiliki dokumen kependudukan yang diperlukan.

"Kenapa perlakuan terhadap kami warga Moromoro berbeda. Mustinya jangan selalu dikaitkan dengan persoalan larangan tinggal di Register 45, karena bagaimana pun kami sudah bertahun-tahun di sini, seharusnya mendapatkan kepastian sebagai warga negara dan berhak memiliki keabsahan dokumen kependudukan serta hak pilih yang juga harus dihormati oleh negara dan konstitusi. Persoalan konflik agraria seharusnya tidak menghilangkan hak politik warga di sini," kata Sahrul Sidin.

"Kalau memang kami dianggap warga negara yang ilegal, kenapa pula pemerintah tidak segera mencarikan solusinya yang terbaik bagi kami, kenapa kami dibiarkan terombang-ambing seperti ini terus. Kami juga berhak hidup dan berkembang di sini, dengan hak-hak yang seharusnya kami miliki sebagai warga negara," ujar Sahrul Sidin lagi.

Berkaitan dengan hak pilih ribuan warga Moromoro itu, hingga kini pihak KPU Mesuji maupun KPU Lampung telah menyatakan mereka belum atau tidak terdaftar sebagai pemilih karena belum memiliki dokumen kependudukan yang sah sesuai ketentuan aturan perundangan yang berlaku.

Namun, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan pemilih menggunakan surat keterangan (suket) dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) sebagai syarat untuk mencoblos. Sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kepemilikan KTP-Elektronik menjadi satu-satunya syarat bagi warga negara menggunakan hak pilih mereka.

Menyusul putusan MK itu, warga Moromoro pun berusaha mendatangi Disdukcapil Mesuji dan pihak terkait lainnya guna memastikan hak politik mereka dapat diakomodasi.

Namun hingga kurang sepekan hari H Pemilu 2019 ini, kepastian hak pilih bagi warga Moromoro itu masih juga belum jelas.

Ketua PPMWS Sahrul Sidin menegaskan pihaknya tetap akan berupaya mendapatkan kepastian hak pilih bagi warga Moromoro ini, mengingat hak pilih ini menjadi bukti pemenuhan kewajiban konstitusional harus dijalankan warga di sini.

“Selain hak politik, kami juga akan terus memperjuangkan nasib keabsahan kami berada di Moromoro ini,” kata Sahrul.

Salah satu sesepuh warga Moromoro Jamari pun berujar, warga Moromoro semestinya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, mengingat sudah berdiam di wilayah ini puluhan hingga belasan tahun.

Sebagian rumah tinggal warga juga sudah permanen, dan berbagai fasilitas diperlukan dibangun warga secara swadaya termasuk beberapa sekolah TK, SD dan SMP meskipun secara formal tetap tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah daerah di sini, sehingga hampir sebagian besar warga belum memiliki bukti dokumen kependudukan yang diperlukan (KTP-el).

“Orang tua kami dulu berjuang untuk memerdekakan bangsa ini. Sekarang Indonesia sudah lama merdeka, seharusnya pemerintah memberi perhatian pada nasib kami yang hanya ingin hidup layak dan merasakan nikmat kemerdekaan itu. Siapa lagi yang harus membela dan memperhatikan nasib kami kalau bukan pemerintah,” katanya dengan suara lirih.

Ribuan warga Moromoro itu pun tetap bersemangat untuk bisa mendapatkan hak pilih mereka, selain terus berjuang atas keabsahan lahan dan tempat tinggal mereka diami selama ini dari pemerintah.

Mereka menegaskan akan terus berjuang mendapatkan hak keadilan akses agraria, hak hidup dan hak untuk sejahtera, termasuk hak mendapatkan keabsahan dokumen kependudukan dan hak politik maupun hak pendidikan serta hak dasar lainnya selaku warga negara Indonesia yang sah.

“Kami ini warga Indonesia, kami cinta negeri ini, kami cinta Tanah Air ini, tapi kenapa sampai sekarang sekarang nasib kami masih terus terombang-ambing seperti ini, padahal kami ingin sekali menjadi warga negara yang baik. Kami juga berhak hidup dan sejahtera di tanah ini,” ujar Sahrul Sidin pula.

Di depan salah satu sekolah yang dibangun swadaya warga Moromoro itu pun, bendera Merah Putih masih tetap dikibarkan, kendati para siswa dan gurunya sudah tidak ada lagi di kelas yang kondisinya apa adanya ini.

Warga setempat berharap pemerintah daerah dan pemerintah pusat segera mencarikan solusi atas nasib dan hak-hak warga Moromoro, Mesuji di Lampung ini seharusnya dapat diberikan dan didapatkan mereka dari negara ini.

Mereka pun tak ingin menjadi golput dalam Pemilu 2019 ini, untuk membuktikan kecintaan pada Tanah Air, sehingga terus berusaha keras memperjuangan hak pilih agar tidak hilang pada Pemilu 2019 ini.

Editor: Sapto HP
Copyright © ANTARA 2019