New York (ANTARA News) - Indonesia mendapat dukungan luas dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kendati baru-baru ini mendapat kritikan dari Uni Eropa (UE) tentang praktik penegakkan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Hal itu diungkapkan Wakil Tetap RI untuk PBB Marty Natalegawa di New York, Sabtu, ketika dimintai komentarnya tentang berbagai pernyataan --baik positif maupun negatif-- di PBB soal penegakan HAM di Indonesia. Pada salah satu rangkaian sidang Komite Tiga-Majelis Umum PBB tentang Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia yang berlangsung sepanjang pekan ini di Markas Besar PBB, New York, Uni Eropa menyebut-nyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang belum sepenuhnya menjunjung tinggi HAM. Dalam salah satu bagian pernyataannya, Uni Eropa mensejajarkan Indonesia dengan beberapa negara lainnya yang dianggap masih mengecewakan dalam hal praktek perlindungan HAM. "Uni Eropa sangat prihatin dengan hukuman terhadap tuduhan tidak jelas yang dijatuhkan terhadap para pembela hak-hak asasi manusia, termasuk perempuan dan mahasiswa Iran. Situasi yang mengganggu bagi para pembela HAM juga antara lain masih terjadi di Uzbekistan, Nepal, Iran, Guatemala, Kolumbia, Yaman, Suriah, Kuba, Indonesia, China, Rusia, Sri Lanka, Myanmar dan Zimbabwe, yaitu sebagian kecil negara-negara yang dicermati oleh Uni Eropa," kata Duta Besar Portugal untuk PBB Jo`o Salgueiro yang mewakili Uni Eropa membacakan pernyataan dalam sidang Komite III. Pernyataan UE tersebut secara resmi telah ditentang oleh Marty Natalegawa ketika delegasi Indonesia mendapat giliran untuk memberikan pernyataan pada beberapa hari berikutnya. "Kita sampaikan dalam pidato, heran. Karena pernyataannya itu sangat bertolak belakang dengan penilaian kita, bahkan dengan penilain mereka (UE, red) sendiri ketika misalnya Menlu RI melakukan pertemuan di Berlin Maret lalu dalam forum EU-Indonesia Troika," kata Marty kepada ANTARA. Dalam pernyataannya dalam sidang Komite III-Majelis Umum, Marty menyatakan Indonesia secara tegas menolak penilaian negatif tentang situasi HAM seperti yang dinyatakan Uni Eropa dan menyebut pernyataan EU tersebut sebagai `incoherent` (tidak logis), jika dibandingkan dengan keberhasilan Indonesia membangun demokrasi dan menjunjung HAM. Dalam sidang tersebut, Marty juga mengutip pernyataan pers yang dikeluarkan usai pertemuan tingkat menteri Troika Uni Eropa dan Indonesia pda 13 Maret 2007, yang antara lain memuat pernyataan Menteri Luar Negeri Jerman, negara yang saat itu memegang posisi kepresidenan UE. Pernyataan 13 Maret menyebutkan bahwa sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia, Indonesia telah mencapai kemajuan sejak berakhirnya masa pemerintahan diktator dan telah secara sukses menjalankan banyak proses reformasi. "Presiden Uni Eropa juga menekankan bahwa kemajemukan, kesetaraan di antara berbagai agama serta kesatuan di antara para golongan kecil, bisa menjadi contoh bagi negara-negara lainnya," kata Marty. Yang membesarkan hati, ujar Dubes RI itu, adalah ternyata setelah EU mengeluarkan pernyataan tersebut, justru dukungan terhadap Indonesia banyak mengalir dari mitra-mitranya sesama negara anggota PBB. Amerika Serikat ketika menyampaikan pernyataan dalam sidang di Komite III, bahkan secara formal memuji Indonesia sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia. AS juga menyebut Indonesia sebagai rumah bagi penduduk muslim terbesar di dunia yang terus memperkuat demokrasi yang majemuk dan mewakili semua golongan setelah empat puluh tahun berada di bawah pemerintah otoriter. "Yang patut disyukuri adalah, ketika mendengar pernyataan seperti itu, bukannya kita menjadi merasa terpuruk dan merasa divonis. Justru negara-negara lain datang kepada kita dan mempertanyakan serta menyampaikan kritik terhadap Uni Eropa soal penilaian mereka terhadap kita," kata Marty. "Dengan pernyataan UE yang bertolak belakang tersebut, tanggapan negara-negara lain justru melihat bahwa pernyataan itu sangat tidak masuk akal, betapa pernyataan Uni Eropa sangat tidak proporsional. Ini jadi bumerang bagi mereka (UE, red)," tambahnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007