Probolinggo (ANTARA News) - Nahdlatul Ulama (NU) menilai sistem "Khilafah Islamiyah" tidak tepat untuk Indonesia, karena hal itu akan mengancam NKRI dan memunculkan disintegrasi dalam keragaman agama.
Hal itu merupakan keputusan dalam sidang pleno Komisi "Bahsul Masail" (pembahasan masalah agama) dalam Konferensi Wilayah (Konferwil) NU Jatim, di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo, Minggu siang.
Lain halnya dengan Komisi "Taushiyah" yang merekomendasikan NU harus mendesak pemerintah untuk mengaktifkan Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat), guna mengantisipasi munculnya aliran sesat seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
Menurut anggota Komisi Bahsul Masail, KH Abdurrahman Navis Lc dari PWNU Jatim, sistem Khilafah tidak memiliki dalil "nash" (dalil dari Al-Quran dan Hadits), kecuali "ijtihad" para sahabat dan ulama.
"Jadi, sistem Khilafah Islamiyah dalam pandangan NU adalah tidak tepat untuk Indonesia, karena mengubah bentuk negara dan dasar hukum negara akan menimbulkan perpecahan, kecuali dilakukan secara konstitusional," katanya menegaskan.
Bagi NU, penerapan syariah Islam harus bersifat "tadrij" (gradual/bertahap) dan secara substantif, karena yang penting adalah meng-Islamkan masyarakat, bukan meng-Islamkan negara.
Dalam Komisi Taushiyah, peserta konferensi merekomendasikan NU harus mendesak pemerintah untuk mengaktifkan Pakem, guna mengantisipasi munculnya aliran sesat seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
"Kalau penangkapan anggota aliran sesat seperti yang terjadi akhir-akhir ini, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Karena itu, pengurus NU se-Jatim juga diminta membantu melakukan pembinaan dan pencegahan itu," kata pimpinan sidang Komisi Taushiyah, Drs Syamsul Huda MPd dari PCNU Lumajang.
Dalam kaitan ini, NU juga direkomendasikan untuk melakukan pembinaan seluruh pengurus organisasi dan badan otonom (banom) NU, agar kegiatannya tidak menyimpang dari prinsip "aqidah, ijtima'iyah, dan syar'iyah" NU, seperti aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal).
Mengenai Pilgub, katanya, peserta Konferwil NU Jatim meminta pengurus NU dan pengurus banom NU untuk memposisikan diri secara netral dalam setiap pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres), Pilgub, Pilkada, dan Pilkades, agar NU tetap bisa menjaga kemurnian Khittah NU 1926 dengan menjaga jarak yang sama.
Untuk taushiyah eksternal, katanya, peserta Konferwil NU Jatim meminta pemerintah dan tokoh-tokoh nasionalis mewaspadai ancaman ideologi negara dari bahaya faham/ideologi transnasional yang mengancam NKRI, dan mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap berbagai bentuk penyalahgunaan narkoba serta memperhatikan pusat rehabilitasi-nya.
Selain itu, peserta Konferwil NU Jatim juga menyoroti masalah lumpur Lapindo.
"Peserta meminta pemerintah untuk mengambil alih pembiayaan korban lumpur Lapindo, kemudian pemerintah yang menagih kepada Lapindo, sehingga rakyat tidak berhadapan dengan pemerintah atau BPLS seperti sekarang," katanya.
Dalam Komisi Organisasi, juga disoroti larangan perangkapan jabatan politik bagi pengurus NU mulai dari jabatan presiden, wapres, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, dan anggota DPR/DPRD, khususnya bagi Rois Syuriah dan Ketua Tanfidziyah. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007