New York (ANTARA News) - Dolar AS merosot terhadap euro dan mencatatkan rekor terendah dalam lima tahun terakhir ini, sementara poundsterling Inggris mendekati level 2,09 dolar AS yang merupakan posisi tertingginya dalam 26 tahun ini. Dolar AS tertekan oleh banyaknya masalah bank investasi yang terlilit kreditnya dan laba perseroan yang melemah, dan harapan yang meningkat terhadap pemotongan bunga Federal Reserve pada Desember. "Ada dinding kekhawatiran terhadap dolar AS. Masyarakat khawatir terhadap kondisi perekonomian, khawatir terhadap sistem perbankan," kata David Gilmore, analis pasar uang di Essex, Conn. "Mereka melihat adanya pasar yang lebih baik di luar AS." Dolar AS sempat anjlok pada posisi terendahnya di 1,4528 dolar AS per euro, berdasarkan data Dow Jones` Interbank, sebelum akhirnya ditutup pada 1,4502 dolar AS. Euro pada Kamis di posisi 1,4462 dolar AS. Pound sempat menanjak pada 2,0896 dolar AS per dolar, sebelum ditutup pada 2,0890 dolar AS. Hari sebelumnya pound masih pada 2,0840 dolar AS. Mata uang AS itu merosot setelah keluar data dari Departemen Buruh AS yang menyeutkan perusahaan AS telah membayarkan upah pekerjanya meningkat kuat 166.000 di bulan Oktober, yang terbesar dalam lima bulan terakhir ini. Sedangkan tingkat pengangguran masih tetap pada 4,7 persen untuk kedua kalinya. "Dolar AS tampak tidak memiliki banyak dukungan," kata Gilmore. "Penurunan suku bunga Fed, pasar kredit masih melilit permasalahan perekonomian AS. Masalah riil di depan yakni di perumahan, sektor otomotif, dan pemutusan hubungan kerja di keuangan pada masa mendatang." Sementara itu terhadap mata uang jepang, dolar pada 114,69 yen, lebih rendah dibandingkan 114,92 yen pada Kamis. "Dolar AS memang lemah. Tapi pemerintahan Bush nampaknya sangat senang dengan dolar melemah karena membantu ekspornya," kata Gilmore. Dolar AS melemah membuat ekspor AS menjadi leih murah. Laporan pendahuluan melaporkan produk domestik bruto menunjukkan pertumbuhan yang cerah. Bisnis AS telah mampu meningkatkan penjualan barang-barangnya di luar negeri, sehingga mengimangi kerugian yang diderita pada industri perumahan, demikian AP.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007