Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum Laksamana Sukardi, Petrus Selestinus mengatakan kliennya akan kooperatif setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan kliennya sebagai tersangka dalam kasus penjualan dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC). "Kalau ada panggilan (pemeriksaan-red), kita akan datang," kata Petrus di Jakarta, Jumat. Petrus juga tidak terlalu kaget dengan keputusan Kejagung untuk menetapkan kliennya sebagai tersangka karena sejak awal Kejagung sudah membidik kliennya. "Justru kalau tidak jadi tersangka kami malah kaget," katanya sambil tertawa lebar. Meski akan kooperatif, Petrus tetap menyesalkan penetapan kliennya sebagai tersangka. Menurut dia, kasus itu tidak mengakibatkan kerugian keuangan negara. "Kita menyesalkan karena dari awal kita tidak yakin kasus ini adalah tindak pidana korupsi," katanya. Kasus VLCC menyeret tiga tersangka. Tiga tersangka itu adalah mantan petinggi Pertamina, yaitu mantan Direktur Keuangan Alfred Rohimone, mantan Direktur Utama Arifi Nawawi, dan mantan Komisaris Utama Laksamana Sukardi. Kejagung akan memeriksa ketiga tersangka dalam waktu dekat. Alfred Rohimone dan Arifi Nawawi akan diperiksa pada 7 November 2007, sedangkan Laksamana Sukardi diperiksa pada 8 November 2007. Kejagung akan menangkap dan menahan ketiga tersangka jika mereka tidak hadir dalam pemeriksaan tersebut. "Kalau perlu dilakukan penangkapan dan penahanan," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman. Kejagung juga mengajukan permohonan cekal untuk ketiga tersangka. Kemas Yahya Rahman mengatakan, pihaknya segera berkoordinasi dengan bagian intel Kejagung untuk mengajukan permohonan cekal ke bagian imigrasi Departemen Hukum dan Ham. "Mulai hari ini dimohonkan cekal ke imigrasi," kata Kemas. Kasus VLCC bermula ada 11 Juni 2004 ketika Direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 yang masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan. Penjualan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Frontline, itu dilakukan tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991. Kasus itu diperkirakan merugikan keuangan negara sekira 20 juta dolar AS. Namun demikian, Kejagung masih menunggu perhitungan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007