Karena sesuai dengan hak asasi manusia, bahwa setiap warga dijamin hak politiknya.
Jakarta (ANTARA) - Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) seutuhnya merupakan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan setiap warga negara lainnya, termasuk dalam memilih pada pesta demokrasi 17 April mendatang.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat 1 menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Termasuk penderita gangguan jiwa yang juga memiliki hak setara sebagai warga negara, khususnya untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Sebagian orang menyetujui dan mendukung mengenai pemenuhan hak pilih bagi ODGJ, tapi tidak sedikit juga kelompok masyarakat dan bahkan tokoh serta partai politik yang menolak bahwa penderita penyakit mental atau orang dengan gangguan jiwa diberikan hak untuk memilih dalam Pemilu 2019.
Orang dengan gangguan jiwa, yang sebagian orang awam menyebutnya dengan sebutan kasar "orang gila", sesungguhnya telah dijamin haknya dalam memilih sudah sangat lama yakni sejak 1955.
Berbagai regulasi yang mengatur tentang kesetaraan hak setiap warga negara, termasuk ODGJ yang tentunya juga sebagai Warga Negara Indonesia, terdapat di berbagai undang-undang, pengesahan konvensi, hingga putusan Mahkamah Konstitusi.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia menyebutkan dasar-dasar regulasi yang mengatur tentang ketentuan pemenuhan hak pilih bagi ODGJ antara lain Undang-Undang Pemilu, UUD 45, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas, Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Undang-Undang Penyandang Disabilitas, dan yang terbaru Surat Edaran KPU RI Nomor 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/XI/2018 tentang Pendaftaran Pemilih Bagi Penyandang Disabilitas Grahita/Mental.
Penyandang disabilitas mental atau orang yang terganggu kesehatan jiwanya pernah dilarang untuk memilih dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pasal 57 ayat 3 huruf a UU tersebut berbunyi, "Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya."
Sejumlah aktivis melayangkan uji materi terhadap pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai bisa menghilangkan hak pilih bagi para ODGJ. Kemudian Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XII/2015 yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut telah menyalahi UUD 1945.
Indonesia bukanlah negara pertama dan satu-satunya yang menghormati dan memfasilitasi hak suara yang dimiliki oleh orang dengan gangguan jiwa. Hampir semua negara tidak melarang orang dengan gangguan jiwa untuk ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi.
Stigma masyarakat
ODGJ bukan hanya soal hilang akal seperti yang kebanyakan orang awam pikirkan. Gangguan jiwa merupakan penyakit yang bisa disembuhkan.
Stres berat, depresi, perilaku seks menyimpang juga termasuk dalam gangguan kesehatan jiwa yang bisa diobati.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia DKI Jakarta dr Nova Riyanti Yusuf Sp.KJ menjelaskan penyakit gangguan jiwa terbagi menjadi dua, yakni gangguan neurotik dan gangguan psikotik.
Penderita gangguan jiwa psikotik telah kehilangan rasa kenyataan dan tidak bisa membedakan antara realita dan halusinasinya. Gangguan jiwa ini bisa menimbulkan waham, halusinasi, dan kekacauan perilaku.
Contoh gangguan jiwa psikotik seperti skizofrenia, demensia, gangguan waham dan gangguan suasana hati yang berubah-ubah.
Sementara gangguan jiwa neurotik seperti depresi, stres, penyimpangan perilaku seksual, bipolar, gangguan kepribadian, gangguan kecemasan, dan lainnya yang penderitanya tidak bermasalah dengan perbedaan halusinasi dan kenyataannya.
Gangguan jiwa neurotik maupun psikotik juga memiliki kategori dari ringan hingga berat yang memengaruhi kondisi fisik dan psikis penderitanya. Tapi sekali lagi jika penyakit kesehatan jiwa ditangani dengan baik, dapat disembuhkan sehingga membuat penderitanya bisa kembali menjalani fungsi kesehariannya atau bahkan memiliki pekerjaan.
Pasien gangguan jiwa yang sudah mendapatkan penanganan dari psikiater akan diberikan penilaian dari dokter bahwa ODGJ tersebut dalam kondisi yang baik dan bahkan bisa menjalani rawat jalan.
Jangan membayangkan pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa menetap di sana dalam waktu yang lama, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun. Pasien gangguan jiwa sama halnya seperti pasien dengan gangguan kesehatan fisik, yaitu dirawat dan diobati secara intensif di rumah sakit dan diperbolehkan pulang jika dinilai kondisi kesehatannya mulai membaik.
Riyanti mengatakan pasien gangguan jiwa disebut dalam kondisi yang stabil apabila dia bisa menjalani fungsi kesehariannya seperti merawat diri secara mandiri, tahu waktu untuk makan, mengerti harus minum obat, dan sebagainya. Pada saat kondisi inilah ODGJ dikatakan bisa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019.
Sedangkan untuk ODGJ yang berada dalam kondisi akut, Riyanti mempercayai bahwa dengan sendirinya dia tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Pada saat hari pemungutan suara tidak akan menggunakan hak pilihnya dikarenakan kondisinya yang tidak stabil.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti menekankan pentingnya edukasi dan sosialisasi pemilu kepada pemilih ODGJ agar penggunaan hak suara dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia bersama organisasi lainnya beberapa kali bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum dalam melakukan sosialisasi dan memberikan pendidikan pemilu bagi pemilih ODGJ.
Menurut Yeni, sebagian besar ODGJ memiliki minat dalam edukasi pemilu dan berkeinginan untuk menggunakan hak pilihnya pada hari pencoblosan nanti. Kendati demikian, ada pula ODGJ yang tidak menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara.
Dari penyelenggaraan Pemilu 2014 yang telah diikuti oleh pemilih ODGJ di beberapa tempat di Indonesia, Yeni menyebutkan tidak ada satu pun yang bermasalah dan seluruhnya berjalan lancar. Beberapa hasil penghitungan suara di beberapa TPS yang digelar di rumah sakit atau panti pun berbeda-beda satu sama lain.
Hanya saja Yeni berharap agar lebih banyak lagi ODGJ yang diberikan kesempatan untuk memilih dalam pesta demokrasi lima tahunan ini. "Belum semua rumah sakit atau panti mengizinkan pasiennya untuk memilih dalam pemilu”.
Fasilitas pemungutan suara
Rumah Sakit Dr H Marzoeki Mahdi Bogor adalah salah satu fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan pemilu pada 2014 dan akan menyelenggarakannya kembali pada Pemilu 17 April mendatang.
Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor Bambang Eko Sunaryanto menyebut hak asasi manusia menjadi alasan pihaknya mengizinkan pemilu untuk pemilih ODGJ dilakukan lingkungan rumah sakit tersebut.
"Karena sesuai dengan hak asasi manusia, bahwa setiap warga dijamin hak politiknya. Kecuali apabila ada kendala-kendala atau kekuatan yang tidak memungkinkan untuk menggunakan hak pilihnya, atau secara administrasi menjadi kendala," kata Bambang.
Rencananya, Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kecamatan Bogor Barat akan membuat Tempat Pemungutan Suara (TPS) di ruang Instalasi Rehabilitasi Psikososial Rumah Sakit Dr H Marzoeki Mahdi untuk pemungutan suara bagi ODGJ.
Dari sekitar 300 lebih pasien ODGJ yang ada di rumah sakit ini, hanya pasien dalam kondisi stabil dan tenang saat hari pemungutan suara saja yang nantinya akan menggunakan hak pilih.
Di rumah sakit peninggalan Hindia Belanda yang berdiri sejak 1882 ini pasien dibagi dalam dua kategori. Bagi yang akut serta gaduh gelisah ditempatkan di Ruang Rawat Psikiatri Akut (PHCU), sedangkan bagi yang kondisinya sudah stabil serta tenang ditempatkan di ruang rawat inap berupa bangsal-bangsal.
PHCU di rumah sakit jiwa ibarat ICU di rumah sakit umum untuk penyakit fisik. Kondisi pasien yang berada di fasilitas ini seringkali gaduh, marah-marah, berteriak, dan kondisi lainnya yang tidak terkontrol.
Sementara pasien yang ditempatkan di bangsal dan ruang rawat inap yang berasitektur kental gaya kolonial, lebih pendiam dan tenang. Para pasien tersebut tampak murung, berdiam diri, seperti orang tua kesepian yang ditinggalkan anak-anaknya.
Beberapa pasien sibuk berinteraksi dengan perawat membicarakan masalah-masalah terkait kesehatan gangguan jiwa yang dialami. Mereka mengerti ketika diajak mengobrol dan paham apa-apa yang disampaikan seseorang kepadanya, termasuk ketika perawat mensosialisasikan akan ada pemilihan umum yang dilaksanakan di rumah sakit.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr Eka Viora Sp.KJ menganggap kekhawatiran orang dengan gangguan jiwa akan membahayakan pemilih lain di TPS sangat tidak beralasan, mengingat tingkat keberbahayaan ODGJ sama dengan masyarakat lain pada umumnya. Bahkan saat ini lebih banyak ODGJ yang menjadi korban kekerasan.
PSDKJI mengimbau kepada para psikiater dan masyarakat untuk menaati peraturan perundangan yang berlaku di negara Indonesia untuk memfasilitasi penyampaian hak suara orang dengan gangguan jiwa serta menghormati dan menjamin hak pilih ODGJ.
"Memberikan hak pilih pada orang dengan gangguan jiwa merupakan bagian penting dalam upaya mengurangi stigma, mendorong rehabilitasi dan integrasi orang dengan gangguan jiwa agar dapat diterima dan aktif kembali dalam kehidupan bermasyarakat," kata Eka.
Gangguan jiwa bukanlah ketidakmampuan. Penetapan kapasitas orang dengan gangguan jiwa untuk menggunakan hak pilihnya tidak didasarkan pada diagnosis maupun gejalanya, melainkan didasarkan pada kapasitasnya untuk memahami tujuan pemilu, alasan berpartisipasi, dan pemilihan calon.
Pertimbangan mendalam ODGJ untuk memilih terutama dikaitkan dengan fungsi kognitif atau kemampuan berpikir, mengendalikan agresivitas, dan berperilaku sesuai norma yang berlaku di masyarakat.
Dan Komisi Pemilihan Umum sudah mengumumkan bahwa semua penyandang disabilitas termasuk disabilitas mental memiliki hak suara dalam pencoblosan 17 April 2019.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 ada lebih dari 500.000 ODGJ di Indonesia. Dan 3.500 di antaranya terdaftar dalam daftar pemilih dan akan terlibat dalam pesta demokrasi Indonesia 2019.
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2019