Jakarta (ANTARA News) - Para pemimpin dunia dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) telah berjanji akan mengurangi angka kemiskinan hingga separuhnya pada tahun 2015, namun pada kenyataannya jumlah penduduk miskin dan sangat miskin masih tinggi. Menurut hasil kajian IFPRI yang diterima ANTARA, Jumat, sebuah institut penelitian kebijakan pangan internasional, selama 2004 terdapat 969 juta orang yang hidup dengan penghasilan di bawah 1 dolar Amerika atau sekitar Rp9.000. Dari angka tersebut, separuhnya adalah mereka yang penghasilannya 0,75 sen-1 dolar/hari ("subjacent-poor"), 30 persen berpenghasilan 0,5-0,75 sen dolar ("medial-poor"), dan 17 persen dari mereka tergolong sangat miskin yakni hidup dengan penghasilan di bawah 50 sen alias Rp4.500 per hari ("ultra-poor"). Kajian IFPRI yang meneliti kawasan Asia, Sub-Sahara Afrika, Amerika Latin, dan Karibia itu memperkirakan 162 juta orang di dunia masuk dalam kategori "ultra-poor". Sekitar 75 persen golongan "ultra-poor" tinggal di Sub-Sahara Afrika, yakni 121 juta orang. Dan kemiskinan di kawasan ini adalah bentuk kemiskinan yang terburuk dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Kawasan Sub-Sahara Afrika hanya menunjukkan kemajuan kecil dalam hal mengurangi angka kemiskinan dalam tiga jenis kategori, sangat kecil lagi untuk jenis "ultra-poor". Bila dikaitkan dengan pertumbuhan populasi, lambannya penanganan kemiskinan di kawasan ini berakibat kepada peningkatan jumlah orang miskin di semua kategori kemiskinan. Secara khusus, Nigeria sebagai negara yang paling padat penduduknya di kawasan Sub-Sahara Afrika berkontribusi 21-30 persen angka kemiskinan di sub-benua tersebut. Antara tahun 1990-2004, jumlah penduduk miskin terus meningkat, terutama di kategori "ultra-poor". Sementara itu di Zambia, angka kemiskinan terus menurun bahkan "ultra-poor" berkurang 6 persen berkat berakhirnya perang saudara yang memperebutkan minyak pada tahun 1992.Asia Timur dan Pasifik berkurang Untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik, angka "ultra-poor" mencapai 5 persen dari total dunia, atau setara dengan 8,8 juta orang. Pertumbuhan ekonomi di kawasan ini berhasil mengurangi angka kemiskinan antara tahun 1990-2004. Bila dulu China mendominasi wajah kemiskinan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, sekitar 70 persen dari total populasi, kini jumlah penduduk miskin di kawasan itu menurun dan trennya akan terus menurun. Sedangkan di Vietnam, penurunan angka kemiskinan di tiga kategori diperkirakan tercapai akibat pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Sementara untuk kawasan Asia Selatan, IFPRI menyebutkan, 12 persen "ultra-poor" atau sekitar 19,7 juta orang tinggal di kawasan Asia Selatan. Seperti halnya di Asia Timur dan Pasifik, kawasan Asia Selatan mencatat pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan yakni sekitar 5 persen. Namun kawasan ini tidak sebagus Asia Timur dan Pasifik dalam hal memanfaatkan pembangunan ekonomi untuk menurunkan angka kemiskinan. Kalangan "ultra-poor" hanya mendapat sedikit saja keuntungan dari pertumbuhan ekonomi di Asia Selatan, sedangkan kalangan "medial-poor" mendapatkan keuntungan yang paling besar. Di India, orang miskin dengan kategori "medial-poor" sedikit lebih beruntung daripada "subjacent-poor" dan "ultra-poor". Kemajuan yang sangat berarti ditunjukkan oleh Bangladesh, karena sejak akhir tahun 1990-an, angka kemiskinan untuk tiga kategori anjlok secara bertahap. Kajian IFPRI di Amerika Latin dan Karibia mendapati bahwa 11,5 juta orang atau 7 persen penduduk paling miskin di dunia berada di kawasan tersebut. Angka "ultra-poor" di Amerika Latin dan Karibia pada tahun 1990-2004 terus bertambah, sedikit saja dari mereka yang berhasil meningkatkan taraf hidupnya. Untuk Brazil dan Mexico, dua negara paling padat penduduknya di kawasan tersebut, menjadi tempat tinggal sebagian besar penduduk yang penghasilannya di bawah 1 dolar per hari. Sementara di Venezuela, angka "ultra-poor" naik drastis dari yang tadinya 0 menjadi lebih dari 2 juta orang selama tahun 1990-2004, sehingga peta kemiskinan di kawasan ini pun berubah. Haiti, walaupun penduduknya tidak terlalu banyak, tercatat sebagai negara yang angka kemiskinannya yang tertinggi (22,4 juta orang "ultra-poor"), ini akibat jumlah penduduk sangat miskin yang mencapai 27 persen dari total populasi. Kajian IFPRI menyebutkan, angka kemiskinan di bawah 1 dolar per hari telah menurun jauh lebih cepat daripada jenis kemiskinan yang lebih buruk, yaitu penghasilan di bawah 50 sen per hari. Kondisi ini diperkirakan terjadi karena mengurangi angka kemiskinan "ultra-poor" jauh lebih sulit daripada jenis kemiskinan yang lain. Lambannya perkembangan upaya mengatasi kemiskinan lalu ditengarai hadir akibat tidak adanya jejaring internal, sehingga orang miskin benar-benar tidak bisa memperbaiki kondisi mereka bila tidak ada bantuan dari pihak luar. IFPRI juga mendapati penduduk termiskin di dunia adalah mereka yang kebanyakan hidup di kawasan terpencil, minoritas etnik, atau anggota kelompok yang sangat terluar, sehingga mereka tidak punya akses terhadap pendidikan, aset, dan aset terhadap pasar. (*)
Copyright © ANTARA 2007