Ambon (ANTARA) - Kemeriahan jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 semakin terasa di seluruh penjuru tanah air. Denyut menyambut pesta demokrasi lima tahunan secara nasional juga ikut terasa hingga ke kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Pulau Seram, Maluku.
Tapi kemeriahan pesta demokrasi yang begitu kental dan semarak di Bula, ibu kita Kabupaten SBT, ternyata berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat adat Suku Bati yang mendiami kawasan hutan tropis di pegunungan Bati, di kecamatan Kian Darat, SBT.
Kecamatan Kian Darat harus ditempuh dalam tiga jam perjalanan dari kota Bula dengan melewati dua kecamatan lain, yakni Teluk Waru dan Tutuk Tolu dengan mobil. Jarak tempuhnya hanya sekitar 100 Km, namun kondisi ruas jalan yang berlubang-lubang besar maupun jembatan kayu yang rusak membuat waktu tempuh menjadi lebih lama.
Belum lagi harus berjalan kaki satu jam lebih dengan kondisi tanjakan panjang selepas desa administratif Watu-Watu sebagai ibu kota kecamatan Kian Darat, barulah akan tiba di pegunungan Bati yang menjadi kawasan pemukiman Suku Bati.
Memang sudah ada jalan lapen hingga menjangkau pemukiman suku Bati, tetapi kondisinya telah tertutup semak belukar dan berlumut karena sejak dibangun tahun 2015 jarang digunakan dan belum ada angkutan umum ke wilayah pegunungan yang dipenuhi hutan tropis tersebut.
Masyarakat Bati terbagi dalam komunitas kecil dan administrasi pemerintahan adatnya berbentuk dusun. Dusun Bati Kelusi merupakan suku awal terbentuknya komunitas adat Bati. letaknya paling jauh dari semua dusun komunitas adat tersebut.
Dari dusun Bati Kelusi kemudian beberapa warganya berpindah dan menyebar membentuk klan atau dusun baru seperti Bati Rumbouw, Bati Rumoga, Bati Tabalean, Bati Kelsaur, Bati Kilwouw serta beberapa dusun kecil lainnya. Semuanya masih tetap mendiami sekitar pegunungan Bati.
Ada semacam mitos yang berkembang di tengah masyarakat Seram Bagian Timur dan Maluku, bahwa orang dengan niat buruk tidak akan pernah menemukan perkampungan suku Bati, dan yang berniat baik dan tulus maka dengan mudah menemukan jalan menuju perkampungan Komunitas Adat Terpencil (KAT) tersebut.
Mayoritas warga Suku Bati masih hidup tradisional dan bergantung pada alam yang menjadi tempat tinggal mereka, yaitu dengan cara berburu dan memanfaatkan alam sekitar untuk kelangsungan hidup serta memegang teguh adat istiadat dan keyakinan mereka.
Berkaitan dengan Perayaan Demokrasi Indonesia menjelang Pemilu 2019, ANTARA berkesempatan menyambangi dan bertemu warga Suku Kelusi dan Bati Rumbouw.
Baca juga: Geliat demokrasi di perbatasan Sarawak
Kurang Sosialisasi
Berbeda dari ibukota kabupaten maupun kecamatan, kondisi dusun-dusun Suku Bati relatif jauh dari gegap gempita pesta demokrasi lima tahunan. Suhu politik nasional yang kerap kali memanas saat menjelang Pemilu 2019 tidak terasa di daerah pedalaman Pulau Seram tersebut.
Tidak terlihat alat peraga kampanye (APK) di dua dusun. Hanya ada beberapa APK milik caleg DPRD Seram Bagian Timur dan Provinsi Maluku yang ditempel di dinding rumah warga.
"Kami boti aroka sosialisasi soal surat suara ire, kapu biti daratan dahaka wai ami. Jadi boti ka ruk tei warna kartu ire, (kami belum pernah mendapat sosialisasi tentang surat suara. Jadi tidak tahu warna tiap tingkatan apa saja)," ujar tua adat suku Bati Kelusi, Muhammad Jamin Kelkusa, dengan bahasa Bati yang kental.
Bahasa Bati yang menjadi bahas sehari-hari suku pedalaman tersebut hampir mirip dengan bahasa yang digunakan warga di Kecamatan Geser dan Gorom, SBT.
Menurut Muhammad Jamin, banyak warga yang lebih akrab dipanggil "orang Bati" saat ini ingin sekali menyalurkan aspirasi politik walau ketidaktahuan mereka akan bentuk dan warna surat suara masih minim.
Sejatinya, pesta demokrasi lima tahunan yang akan digelar 17 April 2019 ini, bukan hanya memilih pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden RI, akan tetapi juga untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif, yakni untuk DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten.
Dusun Bati Kelusi merupakan yang terjauh dari komunitas Suku Bati lainnya. Dibanding dusun Bati lainnya, memang jumlah pemilih di Dusun Bati Kelusi hanya sekitar 35 orang dari total jumlah penduduk 100-an warga.
Mereka juga jarang mengikuti perkembangan berita melalui siaran televisi, karena belum memilikinya. Apalagi jaringan listrik juga belum tersambung ke rumah warga.
Sebenarnya warga telah memperoleh bantuan listrik tenaga surya, tetapi sebagian besar sudah rusak dan tidak bisa digunakan, karena ketidaktahuan mereka untuk menggunakan dan merawatnya.
Hal yang hampir mirip juga dialami warga Dusun Bati Rumbouw dan dusun lainnya. Sebagian besar juga mengaku belum mendapat sosialisasi tentang bentuk dan warna surat suara. Belum lagi hampir 30 persen warga belum bisa baca tulis.
"Belum ada petugas KPU atau dari partai dan caleg yang datang sosialisasi pemilu disini," kata tua adat Bati Rumbouw, Samad Rumoga.
Samad yang sebelumnya menjadi imam Masjid di dusun Bati Rumbouw mengaku dengan keterbatasan yang dimiliki, ia terpaksa sering kali menyosialisasikan tata cara pencoblosan dan warna surat suara untuk warganya.
Tetapi baginya hal tersebut (sosialisasi) tidaklah mudah karena menyadari akan pengetahuan dan pemahamannya yang juga terbatas, apalagi tidak dibekali dengan alat peraga.
Belum lagi, warga dusun Bati Kelusi, Bati Rumbouw, Bati Rumoga, Bati Kilwouw dan dusun bati lainnya harus rela harus berjalan kaki selama tiga hingga empat jam pulang-pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) di dua kecamatan berbeda untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
Warga Bati Kelusi, Bati Eseriun, Bati Rumbouw dan sebagian Bati Rumoga misalnya, terdaftar untuk menyalurkan hak politiknya pada TPS 002 dan TPS 001 negeri administrasi Watu-Watu yang merupakan ibu kota kecamatan Kian Darat. Jumlah pemilih di TPS 002 sebanyak 116 orang dan TPS-001 sebanyak 164 orang.
Sedangkan warga dusun Bati Kilwouw dan Bati Sayei harus memilih di TPS-001 kecamatan Tutuk Tolu dengan jumlah pemilih 90 orang, dan sebanyak 158 warga Bati Rumoga memilih di TPS-002 yang ditempatkan di desa mereka.
Baca juga: Menjaga surat suara tak melayang di Pulau Pisang
Keterbatasan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) SBT mengakui belum pernah melakukan sosialiasi secara khusus untuk warga Suku Bati, dikarenakan berbagai keterbatasan baik anggaran yang diperoleh dari KPU-RI maupun sumber daya manusia.
Sejauh ini, KPU SBT telah menyerahkan APK kepada tim kampanye pasangan calon Presiden-Wakil Presiden, DPD, DPR-RI serta parpol dan tim kampanye DPRD provinsi dan kabupaten untuk disebarkan ke masyarakat.
"Sosialisasi juga telah kami lakukan di 15 kecamatan yang ada di SBT, termasuk untuk pemilih pemula yang jumlahnya banyak, tetapi daerah sulit dan jauh, termasuk suku terasing sosialisasinya, belum" katanya.
Kisman menjamin akan menerjunkan tim khsus untuk sosialisasi tentang surat suara kepada warga Suku Bati, setelah pelipatan dan pengepakan surat suara dan kotak suara.
KPU juga tidak bosan mengingatkan partai politik untuk berperan aktif melakukan sosialisasi pemilu ke warga pedalaman. Partai politik maupun calon legislatif dan tim sukses harus mau memberikan visi dan misi tentang pemilu kepada masyarakat adat Bati, meski untuk menjangkau daerah tersebut butuh usaha ekstra.
"Partai politik juga punya tanggung jawab untuk meningkatkan partisipasi politik," katanya.
Tentang potensi pelanggaran dan kecurangan yang akan terjadi di kawasan-kawasan rawan termasuk Suku Bati, Kisman tidak menampiknya, mengingat jadwal Pemilu bertepatan dengan musim hujan dan ombak besar.
Belum lagi kondisi aliran listrik yang disuplai oleh PT. PLN setempat saat ini juga mengalami pemadaman bergilir selama lebih dari enam jam, dikarenakan kerusakan mesin, akan lebih menyulitkan pengawalan dan keamanan kotak-kotak suara.
Daerah yang jauh dan terpencil serta hanya dijangkau dengan transportasi laut, akan semakin sulit saat musim ombak, sehingga kemungkinan besar ditempuh melalui jalan darat, di mana para petugas dengan pengawalan aparat kepolisian akan memikul kotak suara dari setiap TPS menuju ibu kota kecamatan.
"Kami akan bekerja sama dengan Polres SBT untuk membantu pengamanan kotak-kotak suara pascapemungutan dan penghitungan suara dari TPS menuju ke PPK, terutama wilayah yang sulit, terjauh dan rawan, agar dapat diminimalisasi kecurangan dan pelanggaran," katanya.
Ketua Bawaslu SBT Rosna Sehwaki menilai penyelenggara belum optimal melakukan sosialisasi tahapan Pemilu 2019 kepada warga suku terasing di Seram Timur maupun yang tingal di wilayah terpencil dan sulit dijangkau.
"Jangankan untuk suku terasing dan wilayah sulit, di Kota Bula saja sosialisasi belum optimal menjangkan seluruh masyarakat," katanya.
Masalah sosialisasi merupakan kewenangan penyelenggara kendati Bawaslu juga turut melakukannya melalui tenaga pengawas lapangan yang direkrut.
Selain sosialisasi, hal lain yang melilit warga suku Bati yakni masalah pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), di sebabkan rentang kendali wilayah yang jauh serta kesulitan ekonomi, sehingga mereka tidak bisa dimobilisasi ke kantor catatan sipil untuk proses perekaman.
Untuk mempermudah mobilisasi warga Suku bati ke empat TPS terpisah di dua kecamatan dan jauh dari pemukiman, disarankan KPU bekerja sama dengan Pemkab SBT menyediakan kendaraan untuk membantu mobilisasi mereka, sehingga lebih efektif dan tingkat partisipasi warga suku terasing lebih meningkat.
Solusi lain menurut, Rosna, seharusnya KPU dapat menempatkan TPS khusus pada salah satu dusun sehingga seluruh warga suku Bati dalam memilih di satu tempat saja, tetapi hal itu sudah tidak mungkin dilakukan mengingat jadwal pemilu semakin dekat.
Sedangkan pemilih yang tidak bisa baca tulis, bisa dibantu oleh pendamping, yaitu sanak saudara maupun famili dan juga bisa minta bantuan ke petugas panitia pemungutan suara.
Mereka bisa langsung datang pada hari H, pendamping isi formulir C3 pendamping pemilih, berupa pernyataan menjamin kerahasiaan orang yang didampingi. Konsekuensinya mereka harus memilih sesuai hati nurani karena mungkin tidak tahu dan mengenali calon anggota legislatif yang akan dipilih karena surat suara tidak pakai foto.
Baca juga: Mengarungi Sungai Sebayang untuk logistik pemilu
Siap Memilih
"Pokoknya tanggal 17 April kami siap memilih. Soal siapa yang dipilih itu rahasia dan berpulang kepada keyakinan kami saja," ujar Tua adat Bati Tabalean, Yunus Rumalean yang kebetulan sedang berkunjung ke dusun Bati Kelusi.
Sejatinya pada Pemilu 17 April yang diangap paling bersejarah karena untuk pertama kalinya memilih Presiden/Wapres, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, warga Bati Kelusi dan warga dusun Bati lainnya, harus rela berjalan kaki 3-4 jam menuju TPS untuk menyalurkan hak politiknya. Tidak ada TPS khusus untuk mereka sehingga harus mencoblos di ibu kota kecamatan.
Tetapi jangan berharap janji-janji manis kampanye bisa termakan oleh warga kampung Bati. Sejatinya sejak jaman leluhur orang Bati memegang teguh janji sebagai sebuah "keharusan" untuk ditepati. Mereka tidak berani berjanji jika tidak bisa ditepati.
Kejujuran dan ketulusan hidup telah menjadi kultur budaya yang menjadi falsafah hidup orang Bati turun-temurun. Sejumlah kisah kejujuran dan ketulusan orang Bati sudah menjadi "rahasia umum" bagi kalangan masyarakat di kabupaten SBT.
"Kalau orang Bati berbelanja di kota dan saat pulang mereka baru mengetahui bahwa uang yang dikembalikan lebih walaupun hanya Rp1.000, besoknya mereka akan turun ke kota untuk memberikan kelebihan uang itu kepada pemilik toko atau kios," ujar Rus Rumain, warga Kota Bula.
Orang Bati pantang membuat janji, jika mereka tidak mampu menepatinya. Termasuk menjelang Pemilu 2019 mereka tidak berani membuat komitmen calon tertentu, walau diiming-iming uang dan harta benda.
Mayoritas warga Suku Bati masih hidup tradisional dan bergantung dari alam yang menjadi tempat tinggal mereka, dengan cara berburu dan memanfaatkan alam sekitar untuk kelangsungan hidup serta memegang teguh adat istiadat dan keyakinan mereka.
Gebyar Pemilu 2019 yang demokratis dan bermartabat menjadi harapan dan dambaan mereka untuk lebih sejahtera di masa mendatang, sama seperti warga yang tinggal di perkotaan.
"Kami berharap setelah Pemilu 2019, pemimpin bangsa, senator dan legislator yang terpilih dapat merealisasikan janji politiknya. Jangan hanya janji, tetapi setelah terpilih lupa akan janjinya," kata tua Adat Bati Rombouw, Samad Rumoga.
Sejak berpuluh tahun warga Suku Bati berharap hidup mereka menjadi semakin baik, lebih sejahtera dan sederajat dengan orang-orang yang tinggal di perkotaan.
Bagi Tua adat bati Kelusi, Muhammad Jumin, hidup sejahtera bukan penuh kemewahan, tetapi berbagai hal mendasar seperti transportasi menuju negeri mereka, kesehatan dan pendidikan bisa diperhatikan pemerintah.
"Kami hanya butuh ada mobil penumpang yang sampai ke desa kami, atau bantuan sepeda motor, sehingga tidak berjalan kaki 10 jam pulang-pergi ke kota kecamatan," katanya.
Pemerintah juga diminta dapat mendirikan kelas jauh tingkat sekolah dasar dan SMP sehingga anak-anak mereka dapat dengan mudah mengenyam pendidikan.
Anak-anak Suku Bati yang ingin bersekolah selama ini dititipkan di rumah kenalan dan kerabat di kota kecamatan agar dapat mengenyam bangku pendidikan. Konsekuensinya mereka hanya dikunjungi orang tuanya sekali dalam sebulan.
Editor: Sapto HP
Copyright © ANTARA 2019