Ada anekdot tentang Bali.
Syahdan, seorang muda dari Jakarta datang ke Denpasar untuk liburan dan mencari Made, teman karibnya waktu masih kuliah di Yogyakarta. Patokan alamat rumah sudah ditemukan, dan tibalah untuk menanyakan di mana rupanya si Made, temannya itu, kepada warga setempat yang sedang santai merokok di ujung gang.
"Pak, di mana ya rumahnya Made?," begitu orang Jakarta itu bertanya.
Bapak tua yang ditanya itu balas bertanya, "Made siapa? Anaknya siapa? Banjarnya mana? Di sini banyak sekali yang namanya Made, ibu itu juga Made namanya..." Alhasil, orang Jakarta itu jadi melongo karena bagi kebanyakan warga Ibukota Indonesia, nama orang cukup tunggal dan itupun terkadang cuma nama panggilan.
Itulah satu sisi Bali, nama boleh sama tetapi asal-usul kelahiran dan dusun (banjar) sangat penting. Belum lagi kalau si orang Bali itu memiliki pekerjaan spesifik, misalnya tukang kenteng logam, maka nama pokoknya, katakanlah Putu, diimbuhi Pande. Jadinya, orang itu dinamai Putu Pande, dan masih banyak lagi contoh serupa.
Bali selama ini dan sejak sebelum masa Mataram, dikenal sebagai "enklave" agama Hindhu di Tanah Air, berbarengan dengan satu wilayah di Kalimantan Tengah, yang menganut agama itu.
Nyaris seluruh penduduknya beragama Hindhu (Bali), yang berbeda dalam beberapa ritualnya dengan Hindhu Kaharingan di Kalimantan Tengah, atau Hindhu Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur.
Di tengah-tengah mayoritas pemeluk Hindhu Bali-nya, ada juga komunitas non Hindhu Bali di sana, yang bisa hidup berdampingan secara serasi dari abad ke abad dengan saudaranya yang beragama mayoritas.
Berkendara dari Denpasar ke Singaraja di utara, menyusuri Gunung Batu Karu yang bertetangga dengan Gunung Agung, selepas Danau Bedugul, tibalah di satu desa komunitas Islam di Kabupaten Singaraja.
Namanya Desa Pagayaman, atau Desa Pegayaman, menurut lafal bahasa Bali setempat. Desa ini diketahui kalangan ilmuwan, bukan dihuni orang Bali asli, alias Bali Age.
Desa itu terletak di ketinggian dengan kesejukan yang membuat orang malas berlalu dari sana. Tentu saja, ukiran di berbagai tempat tertentu, bahkan itu pagar rumah, bisa disapu mata.
Pakaian warganya yang tidak sama dengan orang Bali lain, yaitu mengenakan "kamen" (kain) atau sarung dan peci bagi kalangan lelakinya, demikian juga bahasanya, dialek Singaraja yang cepat sekali pengucapannya.
Menyusuri bibir Desa Pagayaman, di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Singaraja, ada sesuatu yang berbeda, yaitu mesjid di beberapa lokasi yang sangat mudah dilihat.
Desa itu memang dihuni sebagian besar warga muslim, namun juga ada warga Hindhu Bali-nya. Di desa itu, tata pergaulan lelaki dan perempuan sangat jelas diatur, karena perempuan yang berbusana tertutup dilarang berjalan keluar rumah dengan lelaki bukan muhrimnya.
Bukan cuma hal itu saja karena dalam hal berpakaian ini, aturan "ketat" juga masih berlaku dari dulu hingga kini.
Yang lelaki wajib hukumnya memakai sarung dengan peci sekalipun belakangan ini banyak anak mudanya yang mulai keluar dari "pakem" ini, dengan memilih memakai celana panjang atau celana pendek dan berkaus biasa.
Sedangkan perempuannya, masih patuh dengan "pakem" memakai kamen, selendang, dan kerudung. Di kaki mereka dan kaum lelakinya, biasanya sandal jepit atau sandal kulit. Salah satu tujuan praktisnya adalah untuk ke mesjid bershalat agar mudah saat mengambil air wudhu.
Itu baru di tataran busana, karena dalam tataran pelaksanaan akidah religi, mereka sangat mematuhi shalat lima waktu.
Pada subuh hari, saat udara masih sangat dingin, mesjid-mesjid sudah dipenuhi umat. Azan juga berkumandang dengan pelafalan yang fasih, layaknya kalangan muslim di Pulau Jawa.
Bukan cuma sekedar bershalat, karena mereka juga menjalankan ajaran Islam secara baik, termasuk dalam berdampingan hidup dengan saudaranya yang bukan muslim.
Tidak pernah terdengar terjadi kerusuhan berlatar agama di sana dan sekitarnya, semisal di Mesjid Jami di tepi Danau Bedugul, karena peran pondok pesantren masih sangat penting di sana.
Seorang penghulu desa, Nengah Zakaria al-Ansyori, berkomentar, "Kami hidup dalam Islam yang juga hidup di sini sehari-hari, jadi tidak akan menimbulkan masalah berarti." Penghargaan terhadap adat-istiadat juga terjadi, seperti pada bulan puasa.
Masyarakat Desa Pagayaman biasa merayakan bulan suci itu dengan nilai adat lokal. Membuat tape alias "penapean", menyembelih hewan konsumsi (penampahan), dan membuat aneka kue untuk disantap bersama atau "penyajanan", yang kemudian dibagi-bagikan kepada tetangga juga dilakukan mereka.
Dalam budaya orang Bali, hal-hal ini biasa dilakukan saat Galungan dan Kuningan.
Demikianlah, kalau dirunut ke belakang, warga Desa Pagayaman sebanyak sekitar 5.000 jiwa itu berasal dari Pulau Jawa, karena pada 1664 sebagian tentara Blambangan mengirimkan laskarnya ke Bali untuk membantu Raja Buleleng yang sedang berperang dengan Raja Blambangan.
Para tentara Blambangan ini kebanyakan pawang gajah yang berperang dari punggung hewan darat terbesar itu.
Mereka membantu kemenangan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Panji Sakti, dan sebagai hadiahnya mereka diangkat menjadi pengawal puri dan boleh bermukim di selatan Singaraja. Itulah yang kemudian menjadi Desa Pegayaman, dari asalnya satu "hutan gatep".
Akulturasi antara nilai-nilai Islam dan budaya Bali kemudian terjadi, di antaranya tentang penamaan orang-orang yang tetap menjadi muslim ini. Makanya, mudah saja mencari orang bernama I Made Zulkarnain, Ni Nyoman Fatimah, atau Ketut Muhammad Soleh.
Akan tetapi, ada beda antara mereka dan orang Bali kebanyakan dalam menamakan anaknya.
Orang Bali mengenal catur warga, yaitu empat anak, dengan urutan Putu atau Gde atau Wayan (anak pertama), Made atau Kadek atau Nengah (anak kedua), Nyoman atau Komang (anak ketiga), dan Ketut (anak keempat).
Kalau anaknya lima atau lebih, maka penamaan anak-anak itu akan berulang lagi ke Putu dan seterusnya. Bagi warga Desa Pagayaman, jika anaknya lebih dari empat, maka "kelebihan" anak itu akan tetap dinamakan Ketut, hanya dibedakan nama kedua setelah Ketut itu.
Bersandingnya Ketut dan Muhammad dalam satu nama di Pagamayaman merupakan cermin terbiasanya warga muslim bersanding baik dengan saudaranya yang lain di Bali. (*)
Oleh oleh Ade P Marboen
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009
Krn Toleransi itu Indah karena berujung pada keselarasan dari semua sektor.