Sejak awal kami sudah melihat ini potensi masalah kalau ribuan karyawan ini tidak bisa menggunakan hak pilih jika tidak mengurus form A5, katanya
Timika (ANTARA) - Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Papua Ronald M Manoach meminta jajaran KPU Mimika mempermudah akses layanan bagi karyawan PT Freeport Indonesia dan perusahaan subprivatisasinya yang hendak mengurus formulir A5 atau pindah memilih dari luar wilayah Kabupaten Mimika atau Provinsi Papua ke wilayah Tembagapura, Mimika.
"Kami sudah menyampaikan kepada KPU Papua dan melalui Bawaslu Mimika kami minta agar segera berkoordinasi dengan KPU Mimika agar perlu ada penambahan tenaga operator di titik-titik karyawan hendak melapor pindah memilih itu. Agar formulir A5 mereka yang hendak pindah memilih bisa segera tervalidasi, KPU Mimika harus mendapat konfirmasi dari alamat asal para karyawan tersebut," katanya di Timika, Senin.
Oleh karena itu, kata dia, KPU Mimika harus berkoordinasi dengan KPU RI mengingat jumlah karyawan yang hendak pindah memilih di Tembagapura itu sangat banyak. Ini harus dilakukan hingga batas waktu tanggal 10 April ini 2019.
Ronald menyayangkan adanya unsur kelalaian KPU Papua dan KPU Mimika sehingga ribuan karyawan PT Freeport dan perusahaan subprivatisasinya terancam tidak bisa menggunakan hak pilih mereka pada Pemilu 17 April 2017 lantaran belum mengurus dokumen pindah memilih (formulir A5).
Saat melakukan supervisi ke Tembagapura, Mimika, sekitar tujuh bulan lalu, Bawaslu Papua menemukan banyak karyawan Freeport dan perusahaan subprivatisasinya yang memiliki KTP elektronik di luar Tembagapura, di luar Kabupaten Mimika, bahkan lintas provinsi di Indonesia.
"Sejak awal kami sudah melihat ini potensi masalah kalau ribuan karyawan ini tidak bisa menggunakan hak pilih jika tidak mengurus form A5. Makanya sejak awal kami sudah memberitahukan KPU Papua yang saat itu merangkap tugas sebagai KPU Mimika (komisioner KPU Mimika saat itu diberhentikan oleh DKPP) agar segera mengambil langkah-langkah khusus," jelasnya.
Bawaslu Papua menyarankan perlu diambil langkah khusus menangani persoalan tersebut mengingat jumlah karyawan Freeport dan perusahaan subprivatisasi yang hendak memilih di Tembagapura sangat banyak, bukan hanya pindah memilih antardapil di Mimika atau antarkabupaten di Papua, namun juga antarprovinsi di Indonesia.
Bahkan beberapa waktu lalu, katanya, dua orang komisioner Bawaslu RI, yaitu Mochammad Afifudin dan Rahmat Bagja sempat mengunjungi Tembagapura untuk mengecek persoalan tersebut.
Meski kondisi tersebut sudah disampaikan jauh-jauh hari sebelumnya, namun pendataan karyawan Freeport dan perusahaan subprivatisasinya yang hendak pindah memilih itu tidak juga dilakukan oleh KPU Mimika.
"Kami sangat menyesalkan teman-teman KPU kurang serius menanggapi masalah ini. Penanganan khusus terhadap persoalan ini tidak dilakukan dan tanggal 5 April baru dilakukan pendataan sehingga bisa terdata 1.500 karyawan yang pindah memilih di Tembagapura. Teman-teman komisioner KPU Mimika tidak bisa menjadikan alasan bahwa mereka baru dilantik pada Februari. Kalau masalah ini ditangani sejak Februari, pasti sudah beres. Buktinya hanya dalam waktu beberapa hari saja, orang sebanyak itu bisa didata," ujar Ronald.
Saat meninjau pendataan karyawan pindah memilih di Tembagapura pada Minggu (7/4), Bawaslu Papua bersama Bawaslu Mimika mendapati kenyataan jumlah operator yang disiapkan oleh KPU Mimika sangat minim dan tempat yang disiapkan bagi karyawan untuk melapor pindah memilih hanya empat.
"Kondisi di lapangan tidak maksimal, operator sangat minim untuk menangani ribuan orang. Tempat yang disiapkan juga hanya empat," katanya.
Ronald menegaskan, persoalan yang terjadi di Tembagapura itu tidak ada kaitannya dengan pihak perusahaan, dalam hal ini manajemen PT Freeport Indonesia.
"Itu bukan urusan perusahaan. Kami sudah empat kali melakukan supervisi ke sana dalam waktu yang berbeda. Setiap kali kami datang, perusahaan selalu terbuka. Justru KPU sendiri yang hilang jalan. Merekalah yang diberikan amanat oleh undang-undang untuk mengurus, yaitu mengamankan hak pilih warga negara. Dalam kondisi seperti ini, harusnya KPU Mimika tinggal di Tembagapura untuk menyelesaikan pendataan karyawan pindah memilih ini," ujar Ronald.
Sebelumnya, Komisioner KPU Papua Tarwinto mengatakan, sebanyak 12 ribu karyawan Freeport dan perusahaan subprivatisasinya terancam tidak bisa menggunakan hak pilih lantaran belum mengurus dokumen pindah memilih dari daerah asalnya.
Pewarta: Evarianus Supar
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019