Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Miranda S. Goeltom, mengatakan bahwa paradoks pertumbuhan ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun tidak disertai penyerapan tenaga kerja sekaligus pengentasan kemiskinan yang luas, perlu segera dihentikan. "Jika tidak dilakukan berbagai upaya perbaikan di berbagai hal, maka khususnya menyangkut perbaikan kesejahteraan kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih berada di bawah standar kehidupan yang memadai, fenomena paradoksial itu rentan bagi kestabilan ekonomi makro jangka panjang," katanya di Jakarta, Rabu. Menurut dia, sebagai mayoritas, masyarakat kecil dan menengah merupakan kontributor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi dan menjadi pasar bagi berbagai produk, sehingga bila keadaan masyarakat menengah kecil semakin memburuk akan menurunkan permintaan yang mendorong melemahnya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,5 persen pada tahun 2006 dan diperkirakan 6,2 persen pada 2007 ini, menurut dia, belum menyerap tenaga kerja secara optimal. Angka pengangguran terbuka, menurut dia, dari data BPS pada 2006 mencapai 10,9 juta jiwa (10,3 persen) dan pada Juli 2007 meningkat tipis menjadi 10,6 juta jiwa (9,8 persen) padahal hingga triwulan tiga pertumbuhan ekonomi diperkirakan telah mencapai 6,2 persen. Sedangkan, kemiskinan pada bulan Juni 2007 yang mencapai 37,17 juta jiwa atau 17,75 persen populasi, meski menurun dibandingkan kondisi akhir tahun 2006 yang mencapai 39,30 juta jiwa belum optimal. Dalam kajian BI, menurut dia, paradoks tersebut akibat pertumbuhan ekonomi yang didorong sektor "non-tradable" yang relatif sedikit menyerap tenaga kerja. "Sementara sektor, industri manufaktur mengalami stagnasi dan sub sektor pertanian pangan yang menjadi ladang kehidupan sebagian besar petani masih terus tertekan," katanya. Selain itu, ia menambahkan, sumber-sumber pendorong pertumbuhan ekonomi sangat terbatas. Terbatasnya sumber pendorong ekonomi seperti investasi mengakibatkan pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi yang dalam jangka panjang tidak berkelanjutan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007