Kendari (ANTARA) - Desa Bangko Kecamatan Maginti Kabupaten Muna Barat mungkin merupakan salah satu desa di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara yang penduduknya hidup di atas perairan atau laut, mereka bertempat tinggal dan beraktifitas sehari-hari di atas laut.
Sebenarnya Bangko sendiri adalah nama sebuah pulau yang letaknya tidak jauh dari tempat permukiman mereka, tetapi mereka lebih memilih hidup di atas laut dibandingkan hidup di Pulau Bangko dan itu sudah didiami sejak turun temurun yang akhirnya sekarang jumlah penduduk satu desa mencapai 1.500-an.
Pemerintah Kabupaten Muna Barat sudah berusaha merelokasi penduduk desa ke daerah kepulauan tetapi mereka lebih senang atau nyaman menjalani hidup seperti yang ada sekarang ini. "Kami sudah berusaha dan mengajak masyarakat Desa Bangko untuk pindah ke Pulau Bangko tetapi mereka tidak mau," kata Bupati Muna Barat, Lao Ode Muhammad Rajiun Tumada.
Tentunya, kalau mereka bersedia pindah ke daratan akan memudahkan pemerintah daerah untuk membangun fasilitas umum seperti sekolah atau yang lainnya. Memang, di Desa Bangko itu sekarang sudah ada sekolah mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), bahkan sudah ada lapangan futsal yang dibangun dengan papan di atas air laut.
Baca juga: Menggairahkan pesta demokrasi orang laut Bangko
"Kalau mereka bersedia pindah ke daratan, tentunya kami bisa membangun SMA di sana," kata Bupati Lao Ode Rajiun Tumada.
"Memang ada upaya dari Pemerintah Kabupaten Muna Barat untuk memindahkan permukiman penduduk ke daratan tetapi warga tidak mau, karena mereka sudah menempati daerah ini secara turun temurun," kata Kepala Desa Bangko, Hayal.
Mengingat penduduknya hidup di atas laut maka hampir semua penduduk di Desa Bangko memiliki perahu "ketinting" untuk menunjang kehidupan sehari-hari, baik untuk mencari ikan atau membeli barang kebutuhan sehari-hari yang hanya bisa didapatkan di daratan (Kabupaten Muna Barat atau daerah lain di sekitarnya).
Bahkan, untuk menambah penghasilan keluarga perahu "ketinting" tersebut dipakai untuk mengojek, artinya menyeberangkan orang luar atau penduduk desa yang akan bepergian ke daratan. Ada dua dermaga sebagai tempat tujuan mereka jika pergi ke daratan yaitu Desa Barakkah Kecamatan Tiworo Selatan dan Pajalu.
Kalau dari Dermaga Desa Bangko menuju ke Dermaga Desa Barakkah bisa ditempuh dalam waktu 15 menit tetapi untuk sampai ke pusat kota Kabupaten Muna Barat masih harus menempuh jalan darat sekitar tiga hingga empat jam dengan kondisi jalan yang bervariasi ada yang sudah beraspal dan ada yang tanah, kemudian bisa ke Pajalu yang ditempuh dalam waktu 30 menit tetapi jalan menuju ke pusat kota tidak terlalu jauh dan jalannya sudah beraspal.
Baca juga: Pemilu dari masa ke masa
Optimistis Naik
Meskipun menjalani kehidupan di laut bukan berarti mereka tertutup soal informasi dari luar termasuk penyelenggaraan Pemilu 2019 yang tinggal dalam hitungan hari saja. Memang gebyar Pemilu tidak begitu terasa di kawasan Desa Bangko mengingat hampir-hampir tidak ada lambang atau baliho partai politik ataupun caleg baik DPR RI, DPRD Tingkat I, DPRD tingkat II, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) atau bahkan gambar calon presiden dan wakli presiden.
Kalaupun ada gambar caleg yang terpampang di beberapa rumah penduduk hanyalah caleg dari desa itu yang maju untuk DPRD Kabupaten Muna Barat. Tetapi mereka tahu kalau pada hari Rabu (17/4) merupakan saat pencoblosan Pemilu 2019.
Warga Desa Bangko rata-rata masih merasa kebingungan dengan sistem Pemilu sekarang ini, apalagi pesta demokrasi lima tahunan ini harus memilih lima sekaligus yaitu Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, DPRD tingkat I, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD RI.
"Bagaimana kita akan mencoblos kalau belum ada contohnya, apalagi kata orang sistem yang sekarang ini bukan gambar tetapi nomor. Kalau bagi orang yang berpendidikan tentu bisa membaca tetapi bagi yang tidak kan susah," kata Ny Nurida (20) warga Desa Bangko.
Apalagi, kata ibu satu anak yang sehari-harinya berjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari di desa itu, sekarang yang dicoblos itu sampai lima lembar. "Wong yang dulu empat lembar saja kacau apalagi sekarang yang lima lembar," katanya.
Keluhan yang disampaikan Nurida dan warga lainnya di Desa Bangko, tentunya harus secepatnya mendapatkan tanggapan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah setempat untuk melakukan sosialisasi lebih intensif kepada warga mengingat pelaksanaan Pemilu tinggal sekitar 20 hari lagi.
Pemerintah Desa Bangko langsung tanggap dengan apa yang dikeluhkan warganya untuk ikut mensukseskan pesta demokrasi mendatang. "Setiap saat baik dalam pertemuan warga atau melalui panitia pemilihan tingkat desa, kita selalu mengingatkan kepada warga bahwa Pemilu itu penting," kata Kapela Desa Bangko, Hayal.
Pemerintah Desa, kata dia, bekerja sama dengan panitia yang ada di desa memberikan dorongan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu mendatang. "Partisipasi masyarakat pada Pemilu lima tahun yang lalu cukup bagus karena mencapai 80 persen lebih," katanya.
Tentunya tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu mendatang diharapkan lebih dari itu apalagi sekarang ini masih banyak warga Desa Bangko yang usianya lebih dari 17 tahun belum melakukan perekaman e-KTP. Sekarang ini yang masuk daftar pemilih tetap Desa Bangko sebanyak 845 orang. "Kita dorong kepada warga yang usianya sudah di atas 17 tahun ke atas supaya melakukan perekaman e-KTP di kecamatan," katanya.
Pada saat pencoblosan mendatang, petugas juga akan bersikap proaktif kepada warga yang belum mendatangi TPS untuk melakukan pencoblosan. "Petugas akan mendatangi warga yang belum mencoblos untuk mengingatkan soal itu dan itu juga tidak mengganggu aktifitas mereka mencari ikan," katanya.
"Saya sudah mengingatkan kepada KPPS untuk memberikan waktu yang longgar kepada pemilih untuk menentukan pilihannya, artinya pemilih jangan tergesa-gesa untuk menentukan suaranya karena yang akan dipilih adalah lima," kata Hayal.
Editor: Sapto HP
Copyright © ANTARA 2019