Jakarta (ANTARA News) - Menlu Hassan Wirajuda mengatakan, meskipun Indonesia akan menjadi Presiden Dewan Keamanan (DK) PBB pada November 2007 mendatang, Indonesia tidak bisa seenaknya mengagendakan kasus Myanmar sebagai agenda yang akan dibahas dalam forum tersebut. "Tidak begitu, semua berasal dari proses pengagendaan dan diskusi sebelum mengambil keputusan. Termasuk juga resolusi, itu kan memerlukan kesepakatan semua termasuk negara-negara yang mempunyai hak veto," katanya, usai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Menlu Timor Leste Zacarias Albano Dan Costa di Kantor Presiden Jakarta, Selasa. Menlu mengatakan, dirinya perlu menjelaskan hal tersebut karena selama ini ada kesan bahwa jika Indonesia menjadi Presiden DK PBB maka Indonesia mempunyai kekuatan luar biasa dalam mengagendakan apa saja termasuk masalah Myanmar. Saat ini Presiden DK PBB untuk bulan Oktober dijabat oleh Prancis, sedangkan Indonesia akan menjabat Presiden DK PBB pada November 2007 mendatang. Menlu mengatakan, belum lama ini DK PBB membicarakan laporan Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Ibrahim Gambari yang tidak merujuk pada resolusi karena semua tahu bahwa satu resolusi akan diveto lagi oleh negara seperti China dan Rusia. Karena itu, lanjutnya, sarannya sangat terbatas yakni dibuat presidential statement (pernyataan Presiden DK PBB) karena ancaman China yang begitu besar. Ia menambahkan, ada ketegangan antara dua belah pihak, Amerika Serikat yang menginginkan presidential statement untuk mengutuk Myanmar dan China yang tidak menginginkannya. "Apakah dengan situasi seperti ini akan mudah mengajukan resolusi mengenai agenda DK PBB mengenai Myanmar? Apakah kita sebagai ketua leluasa? Tidak," kata Menlu. Namun, lanjutnya, Indonesia masih memiliki peran menjembatani kedua pihak yang belum sepakat soal adanya presidential statement tersebut, dengan memberikan usul jalan keluar yang dapat diterima kedua kubu pemilik hak veto itu. Jadi, kata Menlu, asumsi bahwa Indonesia tidak memanfaatkan posisinya sebagai Presiden DK PBB untuk mengagendakan masalah Myanmar itu umumnya karena adanya kurang pengertian bagaimana cara kerja DK PBB, mulai dari mengagendakan, membicarakan, dan sebagainya. Ketika ditanya agenda lain yang akan dibahas selama Indonesia menjabat Presiden DK PBB, Menlu mengatakan, sejumlah hal yang sudah jadwalkan terkait dengan mandat-mandat misi perdamaian, serta hal-hal yang sifatnya emergency. "Kalau terjadi situasi yang mengancam keamanan dan perdamaian Internasional, setiap anggota siapapun boleh meminta perhatian dan Dewan diminta membicarakan," katanya. Sementara itu, ketika ditanya apakah kasus Myanmar akan diagendakan pada KTT ASEAN, November 2007 mendatang, Menlu mengatakan, sebenarnya tanpa dibuat agenda khusus, sejak 2002 masalah Myanmar selalu menjadi pokok pembahasan dalam KTT. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007