Pilihannya akhirnya akan ada pada kita, apakah akan fight atau flight
London (ANTARA) - Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Nottingham mengelar seminar bertema “Kita, Indonesia dan Tantangan Industri 4.0” dengan pembicara Koordinator Jaringan Eropa Inovator 4.0, Ahmad Mukhlis Firdaus dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London Prof E. Aminudin Aziz di kota Nottingham, Inggris.
Ketua PPI Nottingham, Iswandy, kepada Antara London, Rabu menyebutkan acara diadakan untuk berbagi pengetahuan dan pandangan terkait tantangan Revolusi Industri 4.0 bagi mahasiswa di Nottingham.
Ahmad Firdaus, memulai pemaparan dengan menjelaskan lini masa revolusi industri yang dimulai dari penemuan mesin uap pada abad ke-18 mengubah peradaban dari masyarakat pertanian ke industri.
Seabad kemudian listrik ditemukan dan Industri mulai melakukan produksi masal. Era ini dikenal sebagai Revolusi Industri ke dua atau Industri 2.0. Revolusi Industri ke tiga ditandai dengan ditemukan komputer dan manufaktur sehingga diterapkan otomasi dan pabrik tidak lagi membutuhkan banyak pekerja.
Dikatakannya revolusi industri 4.0 adalah ketika internet dan kecerdasan buatan berkembang dan mesin bukan lagi hanya sekedar otomatis tapi juga bisa melakukan optimasi dan pekerjaan yang lebih rumit.
Tentu saja revolusi Industri 4.0 ini juga memiliki tantangan seperti ancaman hilangnya lapangan pekerjaan, seperti studi yang dilakukan University of Oxford bersama Citigroup inc. pada 2016, terdapat 57 persen jenis pekerjaan terancam akan hilang akibat perkembangan kecerdasan buatan ini.
Sebagai Koordinator Jaringan Eropa Inovator 4.0 Ahmad memaparkan mengenai gerakan ini. Innovator 4.0 adalah gerakan mengumpulkan anak-anak bangsa dari berbagai belahan dunia dan berbagai latar belakang keahlian untuk melakukan persiapan.
Di Indonesia Innovator 4.0 saat ini bergerak berdasarkan tiga program yaitu pergerakan sosial, sebagai perangkat pertukaran ide dan entitas bisnis.
Inovator 4.0 Indonesia mulai pergerakan dengan menghubungkan para pemikir dari berbagai kampus di universitas terbaik di dunia dan Indonesia untuk menyumbangkan ide dan pemikirannya ke di seluruh wilayah Indonesia.
Ahmad juga menyampaikan mengenai Revolusi Industri 4.0 ini yang sedang dan akan terus terjadi.
“Pilihannya akhirnya akan ada pada kita, apakah akan fight atau flight”. Tentunya tidak akan mudah untuk berjuang (fight) dengan mempersiapkan diri terhadap perubahan besar ini, namun melarikan diri (flight) tidak akan membawa kita kemana-mana. Bahkan kemungkinannya akan menjadi tidak relevan terhadap perkembangan tersebut.
Sumur bor
Sementara itu Atase Pendidikan KBRI London , Prof Aminudin memaparkan mengenai peran pelajar dan persiapan menjawab tantangan Industri 4.0.
Prof Amin mengawali paparannya dengan membuat analogi mengenai perbedaan antara S1, S2 dan S3 dengan membandingkannya sebagai kolam, sumur dan sumur bor.
Melalui analogi ini Prof Amin menunjukkan jika semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin dalam pemahamannya terhadap suatu pengetahuan, ujarnya.
Dalam hal Industri 4.0, Prof Amin menyampaikan mesin tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran manusia karena dibalik mesin akan tetap dibutuhkan manusia dalam interpretasinya. Ia mencontohkan dalam bidang lingustik yang merupakan bidang keahliannya .
Dikatakannya ada hal yang tidak dapat dilakukan oleh mesin dalam menerjemahkan linguistik, yaitu rasa. Karena bahasa manusia akan berbeda konteks jika disampaikan secara berbeda.
Prof Amin juga menjelaskan perbedaan sudut pandang antara pengusaha dan pemerintah dalam hal melihat Revolusi Industri 4.0 ini. Dalam perijinan misalnya, pengusaha cenderung serba cepat. Sementara, pemerintah menginginkan semuanya sesuai prosedur karena harus menerapkan prinsip kehati-hatian.
Ia juga mengingatkan agar berhati-hati mengenai Revolusi 4.0 , karena ada kemungkinan masyarakat tidak membutuhkannya seperti jalan di Papua. Banyak infrastruktur jalan ternyata tidak digunakan masyarakat di kawasan tersebut.
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019