Jakarta (ANTARA) - Orkes kota Jakarta City Philharmonic (JCP) kembali digelar di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu. Pada pertunjukan kali ini, mengusung tema "Brahmsiade".
Johannes Brahms adalah salah satu komposer Eropa Barat terpenting pada era romantik. Tidak seperti Beethoven, karya Brahms lebih sulit untuk dicerna. Perasaan senang dan sedih menyatu dalam sebuah komposisi alat-alat musik.
JCP memang sengaja memilih karya Brahms sebagai tema pertunjukannya karena mereka ingin mengenalkan musik klasik murni kepada para penonton awam.
Pertunjukan ini memainkan tiga karya yaitu dua repertoar Brahms yang terdiri dari Konserto Ganda dalam A minor, Op.102 dan Simfoni No.2 dalam D mayor, Op.73 serta karya simfonik anak bangsa Matius Shaboone yang berjudul "Tiga Citra Lautan Pertiwi".
Pada babak pertama dengan pengaba utama Budi Utomo Prabowo memainkan "Tiga Citra Lautan Pertiwi" yang terbagi menjadi tiga nomor. Kemudian, di nomor Konserto Ganda dalam A minor , Op.102, panggung JCP kehadiran dua orang solois biola dan selo yakni Danny Artyasanto dan Dani Kurnia Ramadhan.
Sebelum masuk pada babak kedua, terlebih dulu ada jeda untuk rehat selama 15 menit. Setelah itu, pertunjukan dilanjutkan dengan nomor Simfoni No.2 dalam D mayor, Op.73 oleh pengaba tamu Kevin Atmaja. Musiknya sendiri dimainkan dalam empat sesi yang berbeda.
Menyaksikan pertunjukan musik klasik mungkin masih menjadi sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Namun tanpa disangka, peminat JCP ini begitu besar. Hal tersebut terbukti dari banyaknya penonton yang hadir. Malah, sedikit sekali ditemukan bangku kosong di ruang pertunjukan.
Menariknya, mereka yang kebanyakan adalah anak-anak muda. Jika biasanya penonton musik klasik identik dengan busana seperti gaun dan jas, di sini penontonnya lebih banyak menggunakan pakaian kasual. Ternyata musik klasik juga bisa dinikmati dalam suasana yang santai tanpa harus bersikap formal.
Meski demikian, ketika memasuki ruangan pertunjukan suasana klasiknya langsung terasa. Tidak ada suara bisik-bisik, ponsel yang menyala untuk merekam ataupun tepuk tangan sebelum lagu usai. Penonton sepertinya sudah paham betul apa yang harus dilakukan ketika menyaksikan konser musik klasik.
Mereka begitu menikmati setiap alunan musik yang dimainkan dan tanpa ragu memberikan tepuk tangan dengan begitu meriah ketika lagu berakhir. Bahkan saat konser musik klasik ini mencapai puncaknya, penonton memberikan apresiasi tiada henti untuk semua pemain orkestranya.
Jakarta City Philharmonic merupakan bukti bahwa musik klasik tidak hanya untuk orangtua atau kaum borjuis. Musik ini bisa diterima oleh berbagai kalangan dan usia serta suasana yang santai. Dua jam pertunjukan pun tidak terasa ketika menyaksikan karya-karya klasik yang mungkin sebelumnya dianggap membosankan.
Baca juga: Anto Hoed ingin konser musik klasik jadi destinasi wisata Jakarta
Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019