Jayapura (ANTARA) - Aktivis lingkungan Yasminta Dian Wasaraka mengatakan selain memulihkan kawasan Cagar Alam Cycloop sebagaimana yang digaungkan oleh pemerintah belakangan ini, tetapi juga tidak melupakan kesejahteraan rakyat di sekitar wilayah itu.
"Pengembalian fungsi Cagar Alam Cycloop sebagai kawsan konservasi, pemasok oksigen dan penyedia air bagi warga yang ada di sekitarnya harus dilakukan tanpa melupakan kesejahteraan masayarakat setempat, ini harus dipikirkan secara bijak," katanya di Kota Jayapura, Papua, Rabu.
Menurut dia, Cagar Alam Cycloop telah lama disadari benar fungsinya bahkan statusnya sebagai kawasan konservasi sudah ditetapkan sejak zaman Belanda.
Penetapan Cycloop sebagai cagar alam berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 56/Kpts/Um/I/1978 dengan luas 22.500 hektare dan pada 2012 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.782/Menhut-II/2012, luas CA Cycloop diperluas menjadi 31.479,84 hektare.
Meski berstatus cagar alam nyatanya tidak cukup kuat dan menjadi payung hukum untuk penegakan aturan soal pemanfaatan kawasan yang juga dianggap sebagai sosok “mama/ibu” bagi masyarakat asli.
"Dampak parahnya perambahan, perusakan dan alih fungsi tidak lagi bisa lagi disangkal banjir bandang yang menyapu kawasan kabupaten dan Kota Jayapura beberapa waktu lalu adalah bukti dari kegagalan kita menjaga Cycloop," katanya.
Dia mengatakan setelah banjir surut apa yang harus dilakukan selain menangani korban, tentunya yang harus ditangani adalah pelestarian dan perlindungan Cagar Alam Cycloop itu sendiri.
"Rehabilitasi lahan dan pemulihan mutu lingkungan hidup merupakan kebutuhan dasar untuk mengembalikan dan meningkatkan manfaat jasa lingkungan yang selama ini Cycloop berikan buat kita," katanya.
Lebih lanjut, dosen Kampus ISBI Tanah Papua dan STIKOM Muhamadiyah Jayapura itu mengatakan keterbatasan dan terus menyusutnya jumlah tutupan hutan yang berfungsi sebagai tata air menyebabkan terjadinya kekeringan pada musim kemarau dan banjir di musim hujan, sehingga harapan masyarakat untuk meningkatkan produktivitas lahan tidak tercapai.
Percepatan laju degradasi lahan yang sangat cepat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, menurut Dian, merupakan akumulasi dari pertambahan penduduk dan ketergantungannya terhadap sumber daya alam atau lahan, rendahnya keberhasilan reboisasi dan penghijauan, termasuk rendahnya dukungan teknologi yang sesuai dengan karakteristik lokal.
Di sisi lain, optimalisasi fungsi lahan dilakukan berlebihan dengan mengabaikan daya dukung dan regenerasi lahan secara alamiah. Selain faktor alam, faktor kemiskinan, aksesibilitas, kebijakan, dan sosial budaya masyarakat merupakan penyebab terjadinya kerusakan lahan.
"Masyarakat yang miskin akan ilmu untuk pelestarian alam akan cenderung memiskinkan lingkungannya dan lingkungan yang dibuat dan menjadi miskin akan terus membiarkan manusia bergelut dengan kemiskinannya," kata alumnus S2 Antropologi Universitas Cenderawasih.
Sementara, upaya rehabilitasi yang dilakukan secara besar-besaran tidak akan memberikan manfaat selama masyarakat masih terbelenggu dengan kemiskinan.
Untuk itu, Dian menyarankan perlibatan masyarakat menjadi penting salah satu langkah utamanya adalah dengan merehabilitasi lahan dengan menanam tanaman ekonomis berdimensi konservasi.
"Tanaman kayu keras macam matoa, nangka dan rambutan mungkin lebih lama menghasilkan uang tapi kedepan lebih baik karena bisa terus dinikmati hasilnya tanpa perlu repot perawatan. Disinilah kesejahteraan warga bisa meningkat," katanya.
Selain tanaman tersebut diatas, kata Dian yang baru saja meluncurkan buku tentang Asmat, sebenarnya jenis pete cina atau lamtorogung adalah jenis tumbuhan yang mampu bertahan hidup dilahan kritis, selain memang daun dan buahnya bisa dipakai pakan ternak dan pupuk.
"Kayunya juga kuat dan bisa menghasilkan arang yang baik, ini bisa jadi solusi kebutuhan arang kayu di Kota dan Kabupaten Jayapura. Hal lain adalah pemerintah juga harus tegas merelokasi warga yang rumahnya dibantaran DAS agar tak terulang bencana serupa," katanya.
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019