Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pidana mati yang diancamkan untuk kejahatan tertentu dalam UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan itu diucapkan oleh majelis hakim konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK, Jimly Asshiddiqie dalam sidang pembacaan putusan uji materiil UU Narkotika di Gedung MK, Jakarta, Selasa. Pidana mati, menurut MK, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi manusia. Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak azasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak azasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Pandangan konstitusi itu, menurut MK, diteruskan dan ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak azasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum. Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan, MK menegaskan pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Sebaliknya, MK menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan kepada negara pesertanya untuk memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan narkotika. Konvensi juga mengamanatkan negara peserta untuk mencegah serta memberantas kejahatan-kejahatan narkotika yang dinilai sebagai kejahatan sangat serius, terlebih lagi yang melibatkan jaringan internasional. "Dengan demikian, penerapan pidana mati dalam UU Narkotika bukan saja tidak bertentangan, tetapi justru dibenarkan oleh konvensi dimaksud," kata hakim konstitusi Hardjono.Segera laksanakan hukuman mati MK juga menyatakan penghapusan pidana mati belum menjadi menjadi pandangan moral yang universal dari masyarakat internasional, meski kecenderungan saat ini menunjukkan bertambahnya negara yang menghapus pidana mati dari hukum nasionalnya. Hukum-hukum internasional seperti ICCPR, Rome Statue of International Criminal Court, dan deklarasi HAM Eropa, menurut MK, masih memungkinkan diterapkannya hukuman mati. Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dan anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), justru harus menganut Protokol Kairo yang disahkan oleh OKI bahwa hak hidup adalah karunia dari Tuhan dan harus dilindungi kecuali oleh keputusan syariah. "Jadi, jelas bahwa hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan," kata hakim konstitusi Natabaya. Dalam putusannya, MK menyatakan ancaman pidana mati dalam UU Narkotika sudah dirumuskan secara cermat dan hati-hati, karena tidak diancamkan kepada semua pidana narkotika, seperti kepada para penyalah guna dan pengguna. Hukuman mati hanya diancamkan kepada produsen dan pengedar secara gelap dan hanya untuk golongan I, seperti ganja dan heroin. Pidana mati dalam UU tersebut juga disertai dengan ancaman pidana minimum, sehingga pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila terdapat bukti yang sangat kuat. "Dengan demikian, jelaslah ancaman pidana mati tidak boleh sewenang-wenang dijatuhkan oleh hakim," ujar Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Ke depan, dalam putusannya MK merekomendasikan agar pidana mati hanya dijatuhkan untuk pidana yang sifatnya khusus dan alternatif. Selain itu, pidana mati dapat diperingan melalui masa percobaan selama 10 tahun menjadi hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun, serta dapat ditunda untuk ibu hamil atau orang sakit jiwa. MK dalam putusannya meminta agar hukuman berkekuatan hukum tetap bagi terpidana mati segera dilaksanakan. "Demi kepastian hukum yang adil, MK sarankan agar semua pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap segera dilaksanakan sebagaimana mestinya," kata Jimly yang sampai mengulang dua kali pernyataan itu untuk memberi penegasan. Uji materiil terhadap hukuman mati yang diancamkan dalam UU Narkotika itu diajukan oleh lima pemohon yang terdiri atas dua berkas terpisah. Berkas pertama diajukan oleh dua perempuan terpidana mati kasus narkotika, yaitu Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani serta dua warga negara Australia terpidana mati kasus Bali Nine, yaitu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, yang diwakili oleh kuasa hukum mereka, Todung Mulya Lubis. Sedang satu berkas lainnya dimohonkan oleh satu terpidana mati kasus Bali Nine lainnya yang juga warga negara Australia, Scott Anthony Rush, yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Denny Kailimang. Mereka mengajukan uji materiil yang sama, yaitu pasal 80 ayat 1 huruf a, pasal 80 ayat 2 huruf a, pasal 80 ayat 3 huruf a, psal 81 ayat 3 huruf a, pasal 82 ayat 1 huruf a, pasal 82 ayat 2 huruf a, dan pasal 82 ayat 3 huruf a UU Narkotika yang mengatur tentang ancaman hukuman mati bagi produsen dan pengedar narkotika secara terorganisasikan . Edith dan Rani kini menjalani hukuman di LP Wanita Tangerang, sedangkan tiga terpidana mati kasus Bali Nine di LP Krobokan, Tangerang. Putusan terhadap mereka telah berkekuatan hukum tetap melalui putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). MK hanya memeriksa pokok permohonan uji materiil yang diajukan oleh dua WNI, yaitu Edith dan Rani, dan tidak menerima permohonan yang diajukan oleh WNA warga Australia, yaitu Myuran Sukumaran, Andrew Chan, serta Scott Anthony Rush. MK berpendapat, pasal 51 ayat 1 UU MK telah secara tegas dan jelas menyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan uji materiil UU terhadap UUD 1945 adalah perorangan atau kelompok WNI yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945. "Dengan demikian, karena pemohon WNA tidak memiliki kedudukan hukum sesuai dengan pasal 51 ayat 1 UU MK beserta penjelasannya, maka permohonannya tidak dapat diterima," tutur hakim konstitusi Soedarsono. Meski tidak dapat mengajukan permohonan uji materiil terhadap UUD, MK menyatakan, WNA masih dapat memperoleh perlindungan hukum melalui proses hukum seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Terhadap putusan MK yang menolak uji materiil hukuman mati dalam UU Narkotika, empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim konstitusi Harjono, Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan memiliki pendapat berbeda soal kedudukan pemohon WNA dan menyatakan mereka memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materiil. Sedangkan hakim konstitusi Achmad Roestandi, Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan, memberi pendapat berbeda yang menyatakan permohonan para pemohon seharusnya dikabulkan karena menurut mereka hak hidup tidak dapat dikurangi oleh apa pun juga. (*)

Copyright © ANTARA 2007