Makassar (ANTARA) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendalami perkara dugaan kartel yang berakibat pada persaingan usaha tidak sehat di jasa penerbangan atau airlines khususnya setelah penempatan jajaran direksi PT Garuda Indonesia di Sriwijaya Air.

"Untuk kasus penempatan jajaran direksi PT Garuda di Sriwijaya, tim investigator kami masih terus bekerja dan mendalami perkaranya," ujar Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih di Makassar, Selasa.

Ia mengatakan penempatan jajarannya pada posisi direksi di maskapai penerbangan lainnya selain PT Garuda Indonesia adalah bentuk kontrol perusahaan yang bertentangan dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dia menyatakan dugaan pelanggaran itu terjadi karena PT Garuda Indonesia tidak menyerahkan surat pemberitahuan atas kesepakatan bersama atau merger antara dua perusahaan jasa penerbangan tersebut hingga waktu yang ditentukan undang-undang telah berakhir.

"Kalau memang sudah merger kenapa sampai sekarang belum mengajukan dan menyerahkan notifikasi mergernya. Kan mereka tahu ketentuan itu dan dilaporkan ke KPPU," katanya.

Guntur Saragih menyatakan alasan mengapa penelitian masuk ke ranah jabatan karena rangkap jabatan merupakan indikasi adanya persaingan yang tidak sehat.

Dia menuturkan melalui rangkap jabatan tersebut, bisa saja terjadi kompromi antardireksi untuk menaikkan tarif tiket pesawat termasuk kargo.

Apalagi perusahaan-perusahaan tersebut berada dalam pasar yang sama dan memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang atau jenis usaha.

Selain itu, alasan lainnya adalah berpotensi menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Guntur menambahkan, jika hasil penelitian KPPU mampu membuktikan ada pelanggaran pada perusahaan tersebut, maka perusahaan itu bisa dikenakan sanksi berupa denda maksimal hingga Rp25 miliar.

"Untuk saat ini sanksi tertinggi adalah denda sebesar Rp25 miliar dan itu adalah nilai tertinggi. Sanksi mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999," ucapnya.

Pewarta: Muh. Hasanuddin
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019