Timika (ANTARA) - Kepala Kepolisian Resor Mimika, Papua AKBP Agung Marlianto mengakui sejak Desember 2018 telah mengingatkan jajaran KPU Mimika untuk melakukan pendataan valid karyawan PT Freeport Indonesia dan perusahaan subprivatisasinya di lokasi tambang Tembagapura agar bisa menggunakan hak pilih dalam Pemilu 17 April 2019.
"Kami sudah mengangkat masalah ini sejak Desember 2018 karena di Tembagapura itu ada 29 ribu karyawan yang bekerja. Ini jumlah yang sangat besar," kata AKBP Agung di Timika, Selasa.
Kapolres mengatakan dengan situasi dan kondisi teknis pertambangan Freeport yang sulit (sekarang Freeport mengonsentrasikan kegiatan pertambangannya di lokasi tambang bawah tanah) maka sangat sulit bagi karyawan Freeport untuk libur kerja selama beberapa hari hanya untuk menggunakan hak pilih pada Pemilu 17 April mendatang.
Dari jumlah 29 ribu karyawan Freeport di Tembagapura itu, setengah diantaranya berasal dari berbagai daerah di luar Papua dan memiliki KTP luar Papua.
"Itu yang jadi masalahnya, mereka tidak mungkin pulang ke kampung tiga empat hari hanya untuk ikut Pemilu, sementara di sisi lain operasional tambang tetap jalan terus selama 1x24 jam. Kalau tidak seperti itu, apalagi untuk kondisi tambang bawah tanah, bisa membahayakan keselamatan para pekerja," jelas AKBP Agung.
Menurut dia, solusi terbaik agar nantinya ribuan karyawan Freeport yang tidak terdata itu bisa menggunakan hak pilih di Tembagapura yaitu KPU Mimika meminta tambahan surat suara ke KPU RI di Jakarta.
Sesuai data KPU Mimika, jumlah pemilih yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap/DPT di wilayah itu sebanyak 239.265 orang yang tersebar pada 18 distrik (kecamatan) dengan jumlah TPS sebanyak 911.
Adapun jumlah pemilih di wilayah Distrik Tembagapura yang mencakup karyawan Freeport dan perusahaan subkontraktor ditambah warga yang bermukim di sejumlah kampung sekitar Tembagapura hanya sekitar 5.000-an pemilih. Saat penetapan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) tahap dua beberapa waktu lalu, jumlah pemilih masuk ke wilayah Distrik Tembagapura hanya 245 orang.
Sebelumnya, komisioner KPU Papua Tarwinto mengatakan KPU Mimika telah meminta data-data karyawan Freeport dan perusahaan subkontraktornya beserta Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk mengetahui asal-usul karyawan tersebut dari daerah mana saja. Namun hal itu tidak bisa disediakan oleh pihak Freeport.
"Hingga batas waktu yang ditentukan manajemen Freeport tidak memberikan data-data tersebut," kata Tarwinto di Jayapura beberapa hari lalu.
Tidak terdaftarnya ribuan karyawan Freeport untuk mengikuti Pemilu 2019 menuai kritik tajam dari tokoh masyarakat Mimika, Athanasius Allo Rafra.
Mantan Penjabat Bupati Mappi dan Mimika itu menuding manajemen PT Freeport Indonesia kurang perduli untuk membantu mendata karyawannya ke KPU Mimika guna mengikuti Pemilu 2019.
"Saya kira ini sebuah kelalaian bahkan kesengajaan. Mana mungkin ada 12 ribu karyawan Freeport tidak bisa memilih karena tidak terdaftar dalam DPT atau DPTb. Pendataan pemilih bukan baru berlangsung satu dua pekan, tapi sudah lebih dari satu tahun. Pertanyaannya, mengapa orang sebanyak itu tidak pernah didaftarkan. Ingat, Pemilu merupakan hajatan nasional, semua warga negara Indonesia diharapkan berpartisipasi aktif mengikuti Pemilu," kata Allo Rafra.
Sebagai perusahaan besar yang kini kepemilikan saham mayoritasnya telah dikuasai oleh Pemerintah Indonesia, menurut Allo Rafra, sudah menjadi kewajiban hukumnya bagi Freeport untuk ikut andil menyukseskan agenda Pemilu Serentak 2019, salah satunya dengan memastikan karyawan beserta keluarga mereka (isteri dan anak yang sudah berusia 17 tahun) dapat menggunakan hak pilih mereka secara bebas.
Mantan Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Papua itu menilai tidak terdaftarnya ribuan karyawan Freeport mengikuti Pemilu 2019 juga akibat kelalaian aparat Pemerintah Distrik Tembagapura dan Distrik Kuala Kencana.
"Pemerintah daerah tidak boleh tinggal diam. Di Kuala Kencana dan Tembagapura itu ada pemerintah distrik. Tugas mereka untuk mengajak Freeport agar mendaftarkan semua karyawannya untuk ikut Pemilu. Jangan kita mengabaikan kepentingan nasional yang besar ini hanya karena perusahaan sibuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan produksi saja," katanya.
Pewarta: Evarianus Supar
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019