Bandarlampung (ANTARA) - Pulau Pisang merupakan satu kecamatan di Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung dengan enam pekon (desa) adalah daerah terluar yang dikelilingi Samudra Hindia.
Sesampai di pulau tersebut ternyata menunjukkan tidak banyak tanaman pisang seperti namanya, dan harus menempuh perjalanan sekitar 20 kilometer menggunakan perahu dari daratan melalui Pelabuhan Kuala Stabas di Krui dengan waktu tempuh satu jam, bahkan lebih jika kondisi cuaca kurang bersahabat.
Bisa juga melalui Pelabuhan Tembakak dengan waktu tempuh lebih cepat yakni maksimal 20 menit. Namun, jarang yang melalui pelabuhan tersebut, lantaran jauh dari pusat kota atau aktivitas perekonomian, berbeda dengan dari Pelabuhan Kuala Stabas.
Terkait nama Pulau Pisang, beragam sumber yang ditemui di pulau tersebut menyebutkan ada dua versi. Pertama, dulu di pulau ini banyak tanaman pohon pisang hutan, dan kedua bahwa yang pertama kali ke pulau tersebut menggunakan rakit berbahan pohon pisang yang disatukan.
Nampaknya penjelasan kedua itu hingga kini lebih menguat, mengingat untuk penjelasan pertama tidak diperkuat dengan bukti seperti banyak tanaman pohon pisang justru tak terbukti.
Pulau ini kini justru dipenuhi tanaman cengkih dan kelapa sebagai komoditas perkebunan utama bagi penduduk setempat.
Saat ini, petani setempat sedang panen cengkih. Hal tersebut dapat dirasakan ketika kita menginjakkan kaki di pantai berpasir dengan deburan ombak tinggi, lantas tercium semerbak aroma cengkih yang dijemur.
Apalagi, sejumlah warga di setiap pekon (desa) menjemur cengkih di halaman rumah atau di tepi jalan menggunakan beragam alas seperti tikar, sehingga kian menimbulkan aroma harum khas rempah-rempah tersebut.
Cengkih itu merupakan hasil bumi utama warga setempat selain buah kelapa. Sedangkan mata pencarian lainnya yakni sebagai nelayan, dengan target utama tangkapan adalah ikan blue marlin yang disebut warga setempat "iwa tuhuk".
Beberapa tahun lalu, cengkih dari pulau tersebut terkenal kualitasnya. Bahkan, menurut sejumlah sumber, pohon cengkih dulu banyak yang batangnya cukup besar hingga tidak bisa dipeluk, namun kini sudah habis ditebang pemiliknya lantaran mati secara bersamaan diduga karena terkena penyakit.
Syarnawi (65), warga setempat mengaku ketika sebagian warga menebang pohon cengkih akibat mati dan tidak mempedulikan jenis tanaman itu lagi, dan sebagian petani menggantikannya dengan tanaman kelapa, justeru ia mulai menanamnya pada lahan seluas satu hektare dengan jumlah sekitar 300 batang.
Namun, ia lupa tahun berapa mulai menanamnya, dan yang diingatnya hingga kini sudah panen keempat kali dari hasil jerih payahnya menanam itu.
Dalam panen tersebut, hasil yang paling besar yakni pernah mencapai empat pikul atau sekitar 400 kilogram dengan harga jual kala itu Rp100.000 per kilogram, dan dari hasil panen ini ia sempat membeli rumah permanen dari bata dan diplester yang termasuk mewah di pulau tersebut.
Syarnawi yang kini menderita stroke ringan, ditemui usai membalik jemuran cengkih dan cangkangnya, menuturkan bahwa tanaman cengkih miliknya dan warga umumnya tidak mendapat asupan pupuk ataupun pestisida untuk membasmi hama dan penyakit.
Ia mengaku, tidak ada hama atau penyakit yang menyerang tanaman cengkihnya. Mungkin, lanjut dia, karena pulau tersebut berpasir dan panas sehingga jamur tidak sempat tumbuh dan berkembang.
Dia pun menjelaskan, tanaman cengkih era dulu yang besar-besar, sempat dipupuk oleh warga. Anehnya, lanjut dia, pemupukannya dengan cara digali sekitar 30 sentimeter di sekitar pokok tanaman tersebut, sehinggga diperkirakan merusak perakarannya. Mungkin itu salah satu penyebab kematian.
"Dulu ketika pohon cengkih yang besar masih ada, untuk panen satu pohon saja bisa memerlukan waktu lima hari lantaran lebatnya bunga," ujar dia.
Mengenai pemetikan atau panen bunga cengkih saat ini , ia mengatakan dengan mengupahkan kepada orang sistem bagi hasil.
Pembagiannya, untuk pemilik kebun mendapatkan dua bagian, sedangkan pemetiknya satu bagian. Atau dengan kata lain dua berbanding satu.
Terkait kejayaan Pulau Pisang penghasil cengkih berkualitas tinggi juga disampaikan Peratin (Kepala Pekon/Desa) Sukadana, Yoserizal.
Lelaki yang merupakan warga asli pulau itu menjelaskan bahwa era keemasan cengkih pernah dirasakan penduduk setempat hingga semua kebun milik warga baik yang berada di Pulau Pisang maupun di Pulau Sumatera mayoritas ditanami penghasil rempah-rempah ini.
"Kami dulu punya pohon cengkih tumbuh sangat besar di daratan Sumatera, batangnya saja untuk dipeluk tangan kita tidak bisa bertaut. Untuk panennya bisa memakan waktu lima belas hari," katanya mengenang saat itu.
Namun semua itu tinggal kenangan lantaran seluruh pohon cengkih tersebut mati secara serentak.
Meski demikian, seperti warga pulau tersebut lainnya, keluarganya mencoba kembali menanam pohon cengkih yang tumbuh baik dan hingga kini dapat dipetik hasilnya.
Asbin Nasution yang juga menantu Syarnawi mengatakan dirinya selain memiliki beberapa pohon cengkih, juga menjadi pengepul bunga cengkih kering.
Ia menampungnya dengan harga Rp77 ribu per kilogram dan dijual ke daratan Pulau Sumatera, menggunakan jasa perahu motor dengan ongkos Rp10 ribu per 100 kilogram. Ia menjual di sana sekitar Rp84 ribu per kilogram.
Asbin yang juga pemuka agama di pulau itu mengatakan, menurut keterangan dari mulut ke mulut, serta pengakuan mertuanya, Pulau Pisang dulunya penghasil cengkih berkualitas tinggi.
"Ini sisa dari kegigihan warga dengan menanam kembali pohon cengkih. Alhamdulillah tanamannya kini tumbuh baik tanpa adanya pemupukan apalagi penyemprotan menggunakan pestisida untuk membasmi hama dan penyakit," ujar dia yang mengaku sudah tinggal di pulau itu sejak 15 tahun lalu.
Menurutnya, cengkih menjadi salah satu penghasilan utama bagi penduduk setempat yang profesinya sebagai petani. Hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan ditabung guna mencukupi hingga panen mendatang. Bahkan, untuk biaya pendidikan anak yang merantau ke tempat lain ditopang dari hasil tanaman cengkih itu.
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019