"Terhadap pemda ini karena terjadinya tumpang-tindih dari perizinan yang menjadi sumber dari persoalan awal perkara ini, kami tentu juga berharap bahwa pemda bekerja sama dengan Menteri ESDM untuk terus merapikan berbagai perizinan," tutur Sri Mulyani di Kantor Kejagung RI, Jakarta, Senin.
Indian Metal Ferro & Alloys Limited (IMFA) mengajukan gugatan arbitrase terhadap pemerintah RI pada tanggal 24 Juli 2015 dengan alasan adanya tumpang-tindih IUP yang dimiliki oleh PT SRI dengan tujuh perusahaan lain akibat adanya permasalahan batas wilayah yang tidak jelas.
Dengan adanya tumpang-tindih IUP tersebut, IMFA mengklaim pemerintah RI telah melanggar BIT India-Indonesia dan meminta ganti rugi sebesar 469 juta dolar AS atau Rp6,68 triliun.
PT SRI merupakan badan hukum Indonesia tetapi pemegang saham dari PT SRI adalah Indmet Mining Pte. Ltd. (Indmet) Singapura yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Indmet (Mauritius) Ltd., sedangkan saham dari Indmet (Mauritius) Ltd. dimiliki oleh IMFA.
Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah Indonesia bukan tidak peduli kepada investor. Namun, dengan adanya perkara itu, pemerintah Indonesia akan menjaga tata kelola pertambangan.
"Kami tetap berkomitmen memberikan pelayanan kepada para investor di Indonesia," katanya.
Ia mengaku gembira pemerintah memenangi perkara itu sehingga dapat menyelamatkan keuangan negara sebesar 469 juta dolar AS atau sekitar Rp6,68 triliun serta mendapatkan ganti biaya perkara.
Adapun majelis arbiter dalam putusannya dalam pengadilan di Den Haag, Belanda, menerima bantahan pemerintah RI soal permasalahan tumpang-tindih dan batas wilayah merupakan permasalahan yang telah terjadi sebelum IMFA masuk sebagai investor di Indonesia.
Permasalahan tersebut semestinya telah diketahui oleh IMFA sehingga pemerintah RI sebagai negara tuan rumah tidak dapat disalahkan atas kelalaian investor.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019