Jakarta News (ANTARA) - Tidak sedikit orang berpendapat bahwa aktor/aktris yang hebat adalah ketika perannya dalam film bisa memancing emosi penonton hingga menangis atau tertawa geli.
Namun, bagi bintang Berbagi Suami, Lukman "Pak Le" Sardi, persoalannya tidak sesederhana itu.
"Itu salah satunya, tetapi bagi saya akting yang baik adalah tidak berlebihan tetapi sama sekali tidak kurang, harus pas," katanya, ketika berbincang dengan wartawan dalam sebuah workshop yang diselenggarakan JAK TV dan Tabloid Cek&Ricek di Jakarta, Senin.
Workshop itu sendiri digelar sebagai rangkaian kegiatan awal Festival Film Jakarta (FFJ) 2007, tujuannya untuk memberikan bekal pengetahuan tentang seni peran dan pembuatan film bagi wartawan yang bakal menjadi juri verivikasi.
Menurut Lukman, akting adalah seni peran yang harus dikuasai oleh seorang bintang film, bisa melalui pendidikan formal ataupun belajar dari pengalaman. Untuk bisa berperan dengan baik, seorang aktor/aktris harus membuang ego pribadinya dan masuk ke dalam roh karakter yang diperankannya.
"Saya sendiri tidak belajar di sekolah atau lembaga formal. Waktu kecil, kebetulan ayah saya kenal dengan sutradara Om Wim Umboh, dan saya diajak main. Film pertama saya Kembang Kembang Plastik, saya lupa tahun 1976 atau 1977," katanya.
Dalam diskusi, ia memuji sejumlah aktor yang dianggapnya mampu bermain secara luar biasa, satu di antaranya John Travolta dalam Pulp Fiction.
Menyinggung soal penjurian, aktor yang juga membintangi Gie, Photograph, 9 Naga, dan Naga Bonar Jadi 2 itu mengatakan, "Tidak gampang jadi juri film".
Menurut dia, hal terpenting yang harus dilakukan adalah bersikap objektif, dengan membuang rasa suka atau tidak suka terhadap sebuah film, termasuk jenis film dan siapa saja para pembuatnya.
FFJ 2007 merupakan acara tahunan yang kedua kali diselenggarakan Jak TV, setelah yang pertama digelar tahun lalu secara kerjasama dengan Tabloid Bintang Indonesia.
Tahun ini, film-film yang dinilai adalah produksi Oktober 2006-September 2007.
Workshop FFJ dijadwalkan berlangsung tiga hari, 29-31 Oktober, dengan pembicara insan film dari Masyarakat Film Indonesia.
Dalam diskusi sesi pertama, tampil sebagai pembicara Prima Rusdi, Salman Aristo dan Joko Anwar, dengan moderator Nia Dinata.
Mereka memberikan materi tentang penulisan skenario, yang di antaranya memiliki ukuran terdiri dari tiga babak dan dua jembatan (turning point).
Menurut Prima, jika sutradara tidak cakap masih bisa ditolong, begitupun jika produser (pemberi ide cerita) tidak mampu. Tapi, kalau penulis skenarionya jelek, pasti filmnya jelek. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007