"Ini tidak biasa, karena berdasarkan pola tahun lalu, tarif angkutan udara, andilnya hanya pada bulan-bulan tertentu seperti puasa, lebaran, natal dan tahun baru," kata Suhariyanto di Jakarta, Senin.
Suhariyanto mengatakan bahwa sangat wajar apabila tarif pesawat udara mengalami kenaikan pada momen tertentu seperti lebaran, libur anak sekolah, atau tahun baru karena tingginya permintaan.
Namun, tingginya tarif angkutan udara yang terjadi sejak November 2018 hingga Maret 2019 merupakan kejadian yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Oleh karena itu, ia mengharapkan kebijakan Menteri Perhubungan yang telah menurunkan batas bawah tarif bisa menekan tingginya harga tiket pesawat.
"Kemarin ada kebijakan penurunan batas bawah, kita lihat dampaknya bulan depan," ujarnya.
Sebelumnya, BPS mencatat tarif angkutan udara memberikan andil inflasi sejak November 2018 sebesar 0,05 persen dan Desember 2018 sebesar 0,19 persen.
Sejak itu, tarif transportasi udara ini tidak mengalami penurunan dan menyumbang andil inflasi pada Januari 2019 sebesar 0,02 persen serta Februari 2019 dan Maret 2019 masing-masing sebesar 0,03 persen.
Kenaikan tarif ini bahkan menjadi salah satu penyebab peningkatan inflasi di Ambon, yang menjadi kota dengan inflasi paling tinggi pada Maret 2019, sebesar 0,86 persen.
Dalam periode ini, tarif angkutan udara mengalami kenaikan antara lain di Tual sebesar 32,14 persen, Bungu 27,38 persen, Ambon 20,83 persen, Malang 14,13 persen dan Manokrawi 13,12 persen.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019