Jakarta (ANTARA News) - Kenaikan harga minyak dunia hingga mencapai 90 dolar AS per barel saat ini dinilai menjadi peluang yang baik bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi jagung sebagai bahan baku ethanol pengganti bahan bakar minyak (BBM).
Manajer Bisnis Kawasan Asean PT Du Pont, Andy Gumala, di Jakarta, Senin, mengatakan saat ini negara-negara produsen jagung dunia seperti AS dan China memilih untuk mengalihkan jagung mereka sebagai bahan baku ethanol.
"Kondisi tersebut mengakibatkan pasokan jagung di pasaran dunia menurun sehingga dalam waktu 3-4 tahun ke depan Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," katanya.
China yang sebelumnya mampu mencukupi kebutuhan jagung dalam negeri, kini menjadi importir karena produksi negara tersebut hanya 144 juta ton sementara keperluan mencapai 145 juta ton.
Setiap tahun, tambahnya, kebutuhan ethanol di China selalu meningkat bahkan negara tersebut telah membangun empat pabrik ethanol dari jagung dengan kapasitas masing-masing 15 juta ton per tahun.
Selain China, menurut dia, Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi eksportir jagung terbesar di dunia juga mulai mengalihkan komoditas tersebut untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri guna pengembangan ethanol.
Produksi jagung AS mencapai 250 juta ton per tahun yang mana 82 juta ton diantaranya untuk bahan baku industri ethanol dalam negeri.
"Akibat penurunan pasokan jagung untuk pasar internasional maka harga jagung yang semula 220 dolar AS/ton menjadi 325 dolar AS/ton," katanya.
Dengan kenaikan harga minyak bumi tersebut, tambahnya, stok jagung dunia akan semakin menurun sementara dilain sisi harganya justru kian melambung, sehingga sudah saatnya Indonesia swasembada jagung.
"Saat ini saat yang tepat untuk melakukan investasi mengembangkan jagung karena memang sangat menguntungkan," katanya.
Andy Gumala menyatakan keyakinannya Indonesia mampu swasembada jagung bahkan menjadi eksportir komoditas pangan tersebut karena masih memiliki potensi produksi yang bisa ditingkatkan.
Indonesia saat ini masih mengimpor jagung sebanyak 600 ribu ton per tahun dan diperkirakan pada tahun depan naik menjadi 1 juta ton.
Permintaan jagung di kawasan Asean maupun Asia Timur sangat besar, sehingga bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memasarkan produksi jagung ke wilayah tersebut.
Andy mencontohkan kawasan Asia Timur harus mendatangkan jagung sebanyak 29 juta ton per tahun sementara di Asean setiap tahun defisit 5 juta ton, misalnya di Malaysia permintaan mencapai 4 juta ton/tahun, Jepang 10-15 juta ton/tahun dan Singapura 1 juta ton/ tahun.
Dikatakannya, untuk merangsang petani meningkatkan produktivitas tanamannya dengan menggunakan benih hibrida maka pemerintah perlu memikirkan sektor hilir seperti memberikan kepastian pasar maupun mengembangkan fasilitas paska panen seperti yang dilakukan Thailand.
Di negara Gajah Putih tersebut, pemerintah membangun fasilitas paska panen seperti mesin pemipil, pengering dan gudang penyimpanan atau silo untuk meningkatkan mutu hasil panen petani jagung serta menjamin kepastian pasar.
"Jika sudah ada kepastian pasar maka petani tidak akan segan-segan menggunakan benih hibrida," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007