Jakarta (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan pihaknya tidak memiliki kekuasaan untuk memperketat pelaksanaan label halal bagi produk pangan, obat-obatan dan kosmetika.
"MUI berjuang untuk melindungi warga Muslim dari produk pangan yang tidak diperbolehkan syariat Islam, namun sejauh ini kita tidak memiliki kekuasaan untuk memperketat pelaksanaan label halal bagi produsen," kata Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), Dr. Ir. Muhamad Nadratuzzaman Hosen, Senin.
Nadratuzzaman menyampaikan hal itu dalam Forum Dialog Halal Global yang diadakan di Jakarta oleh Badan Pengembangan Perdagangan Luar Negeri pada Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta.
Menurutnya, lembaga yang dipimpinnya sejauh ini baru memberikan sertifikat label halal kepada 1.000 perusahaan dari sekitar 59.000 perusahaan produsen pangan, obat-obatan dan kosmetika di Indonesia.
Nadratuzzaman mengakui bahwa pihaknya mengalami banyak kendala karena kebanyakan produsen menolak memberlakukan label halal tersebut, sementara MUI tidak berhak memaksakannya.
"MUI itu ibaratnya buah semangka lawan buah durian. Ya, tentu saja tidak punya kekuatan bertindak," ujarnya.
LPPOM-MUI didirikan pada 6 Januari 1989 berdasarkan Surat Keputusan No. 18/MUI/1989. Tujuannya untuk membantu MUI dalam menentukan kebijaksanaan, merumuskan ketentuan-ketentuan, rekomendasi dan bimbingan yang menyangkut pangan, obat-obatan dan kosmetika sesuai dengan ajaran Islam.
Lembaga ini beranggotakan sejumlah pakar pangan, kimia, biokimia, dan hukum Islam.
Guna memberi rasa tentram kepada umat tentang produk yang dikonsumsinya, MUI menjalankan misinya dengan menelusuri berbagai masalah halal dan haramnya produk yang ditinjau sesuai dengan sudut teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan masa kini.
Sementara itu, dalam forum tersebut kalangan pengusaha makanan dan minuman menyatakan keberatannya atas penerapan label halal pada setiap produk.
"Sekarang ini, ada kecenderungan produk makanan dan minuman itu dibuat lebih kecil. Nah, jika produk berjenis kecil semuanya diberi label halal, maka menyulitkan pengusaha karena akan menambah biaya biaya," kata Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Ir. Thomas Darmawan.
Menurutnya, sebaiknya label halal itu ditiadakan dan cukup hanya berupa sertifikat halal saja.
"Pelabelan halal di setiap produk itu, pada gilirannya akan membebani konsumen Indonesia. Apalagi Indonesia saat ini penduduk miskinnya mencapai 100 juta orang," katanya.
Pendapat Thomas ini disanggah oleh Nadratuzzaman. "Persoalannya bukan masalah biayanya, tapi bagaimana menjamin bahwa barang itu halal dikonsumsi umat Muslim," ujarnya.
Di sisi lain, seorang pengusaha importir bahan makanan, dalam forum itu mengeluhkan sikap MUI yang menolak mengakui sertifikasi halal bagi barang diimpornya.
Menanggapai keluhan itu, Dr. Nadratuzzaman menjelaskan, sebetulnya MUI tidak mempersoalkan bila sertifikasi halal dari luar negeri itu diterbitkan oleh lembaga yang di dalamya beranggotakan ulama berkompeten.
Ia mencontohkan, ada bahan makanan yang diimpor dari Brasil berlabel halal, tetapi pelabelan itu diterbitkan oleh badan pengawasan pangan negara tersebut dan tidak melibatkan para ulama Islam.
Forum Halal Global itu diprakarsai oleh Pemerintah Malaysia, yang sebelumnya telah diadakan di beberapa negara.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007