Perlu keberpihakan pemerintah, khususnya dalam meningkatkan sektor keamanan. Pasalnya, jantung smart city selain masalah sistem yang mudah dan bermanfaat adalah masalah keamanan itu sendiri

Semarang (ANTARA) - Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) menyatakan smart city sangat riskan menjadi korban peretasan dan juga manipulasi data jika tanpa keamanan yang memadai.

"Perlu keberpihakan pemerintah, khususnya dalam meningkatkan sektor keamanan. Pasalnya, jantung smart city selain masalah sistem yang mudah dan bermanfaat adalah masalah keamanan itu sendiri," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Dr. Pratama Persadha kepada ANTARA di Semarang, Minggu.

Pakar keamanan siber ini mengemukakan hal itu terkait dengan konten debat calon presiden di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (30/3) malam. Dalam debat keempat bertema ideologi, pertahanan dan keamanan, pemerintahan, dan hubungan internasional yang menampilkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sempat menyinggung smart city.

Menurut Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, membangun smart city di Indonesia memang bukan perkara mudah. Bahkan, di luar negeri tidak semuanya berhasil meski yang berhasil juga cukup banyak.

Ia mencontohkan Singapura yang berhasil mengimplementasikan konsep smart city, khususnya dalam sektor transportasi publik. Berbagai sensor diterapkan untuk membantu mengumpulkan data dan membangun sistem transportasi yang efisien.

"Berbagai aplikasi dan kemudahan disediakan pemerintah Singapura. Salah satunya adalah koneksi internet yang murah dan salah satu paling cepat di dunia," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.

Dengan keberadaan aplikasi ini, kata Pratama, harapannya aktivitas penduduk Singapura terpantau dan datanya dikumpulkan, kemudian ada temuan baru untuk membangun sistem yang lebih efektif dan efisien.

"Jadi, smart city konsepnya tidak selalu terkait dengan penggunaan internet of things, tetapi lebih pada bagaimana sebuah wilayah bisa memanfaatkan teknologi dan data yang ada dari penduduknya," kata Pratama.

Oleh karena itu, dibutuhkan political will dan keperpihakan pada regulator. Peraturan perundang-undangan tentang kepemilikan mobil sangat ketat sehingga masyarakat di Singapura “dipaksa” untuk menggunakan transportasi publik yang ada.

Minimal yang bisa diterapkan di Indonesia, lanjut dia, adalah kemudahan masyarakat dalam mengakses layanan dari pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini sesuai dengan yang diucapkan Capres RI Joko Widodo terkait terkait dengan Dilan (digital melayani).

Dengan mulai meratanya jaringan internet di Tanah Air, menurut dia, bisa menjadi salah satu modal membangun smart city.

Di beberapa pemkab, misalnya, mulai berani memakai digital signature untuk membantu surat-menyurat. Selain ramah lingkungan, juga lebih aman karena surat yang ada tidak bisa dipalsukan.

Kendati demikian, dia menekankan, "Pemanfaatan teknologi dengan aplikasi, sekali lagi jelas harus ada perhatian dari sisi pengamanan sibernya."

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019