Jakarta (ANTARA News) - Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) bersikeras melakukan sita jaminan terhadap Yayasan Beasiswa Supersemar meski pihak Soeharto sebagai pemilik yayasan tersebut keberatan. Ketua Tim JPN, Dachmer Munthe, dalam sidang gugatan penyalahgunaan dana beasiswa Supersemar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, menegaskan sita jaminan yang dituangkan dalam gugatan provisi diperlukan untuk mencegah penggelapan aset. JPN mengajukan sita jaminan terhadap aset berupa tanah dan bangunan gedung Granadi yang berlokasi di Jalan HR. Rasuna Said Kav. 8-9, Kuningan, Jakarta Selatan. Sebelumnya, kuasa hukum Soeharto, Juan Felix Tampubolon, menyatakan permohonan sita sudah memasuki pokok perkara. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung, katanya, permohonan provisi yang berisi pokok perkara tidak bisa diterima. "Permohonan provisi yang berisikan pokok perkara harus ditolak," katanya. Selain itu, Felix juga menyatakan permohonan sita tidak lengkap karena tidak disertai bukti-bukti otentik. Menanggapi hal itu, Dachmer menegaskan tidak ada ketentuan yang secara jelas mengatur format pengajuan gugatan provisi. "Tidak ada satu ketentuan pun dalam format pengajuan provisi," katan Dachmer. Dachmer juga membantah sita jaminan sudah memasuki pokok perkara sehingga harus diabaikan majelis hakim. Menurut Dachmer, sita jaminan tidak masuk pokok perkara tersebut. Inti dari pokok perkara, katanya, adalah penyalahgunaan dana Yayasan Beasiswa Supersemar, sedangkan sita jaminan bertujuan untuk mencegar pelarian aset yayasan. "Isi gugatan provisi berbeda dengan pokok perkara," kata Dachmer. Kemudian, Dachmer juga menegaskan permohonan sita jaminan tidak harus selalu disertai bukti otentik. "Bukti otentik terlalu dini, karena perkara belum masuk pembuktian," kata Dachmer menambahkan. Gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar diajukan terkait dugaan penyelewengan dana pada yayasan tersebut yang sekaligus diketuai Soeharto. Kejaksaan juga menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp10 triliun. Menurut Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dachmer Munthe, yayasan tersebut pada awalnya bertujuan menyalurkan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa kurang mampu sejak tahun 1978. Yayasan Supersemar menghimpun dana negara melalui bank-bank pemerintah dan masyarakat. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah, yang kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 373/KMK.011/1978, serta Pasal 3 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, seharusnya uang yang diterima disalurkan untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa, namun pada praktiknya tidak demikian dan telah terjadi penyelewengan. Penyelewengan dana itu, menurut JPN, merupakan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUHPerdata. Sebelumnya pada 21 Agustus 2000 Kejaksaan Agung berupaya menyeret mantan Presiden Soeharto menjadi pesakitan dalam perkara pidana dugaan korupsi pada tujuh yayasan termasuk Yayasan Supersemar, namun upaya itu gagal karena Soeharto sakit dan dinyatakan tidak dapat diadili. Pada 11 Mei 2006, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) HM Soeharto dan mengalihkan upaya pengembalian keuangan negara melalui pengajuan gugatan perdata.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007