Mataram (ANTARA) - Perajin tenun di kampung adat Suku Sasak, Desa Sade, Rembitan, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, mengeluhkan minimnya wisatawan nusantara maupun mancanagara pasca gempa bumi pada pertengahan 2018 yang berwisata ke daerah tersebut.
Sehingga berpengaruh pada minimnya pembeli kain tenun khas Suku Sasak itu.
"Sejak gempa pada 29 Juni 2018, jumlah pembeli kain tenun dan pengunjung ke kampung adat menurun terus," kata Ina Fanu, warga kampung adat Desa Sade kepada Antara, Sabtu.
Dikatakan, sebelum terjadi gempa kain yang dibuat dengan alat tenun tradisional itu, bisa terjual antara lima sampai enam kain per hari.
Saat ini, antara satu sampai tiga kain. "Bahkan pernah sama sekali tidak ada yang beli," kata Ama Fanu (21), warga lainnya yang juga berprofesi sebagai pramuwisata yang berkunjung ke Kampung Sade.
Ia menyebutkan kain yang dijual di setiap rumah itu bukan milik individu atau satu kepala keluarga (KK) saja. Namun milik beberapa KK yang masih sanak saudara persis koperasi. "Jadi, kami paling dapatnya antara Rp80 ribu sampai Rp100 ribu per KK. Kalaupun itu ada yang beli kain," katanya.
Karena itu, ia mengharapkan pemerintah untuk turun tangan dan terus mempromosikan desa wisata yang memproduksi kain tenun khas Sasak itu.
Satu-satunya jalan adalah pemerintah mempromosikan ke wisatawan, bahwa berkunjung ke Lombok itu aman, katanya.
Harga tawar kain tenun khas Sasak itu bervariasi untuk kualitas satu dengan ketebalan 15 lapis Rp1 juta, kualitas dua tebalnya tujuh lapis Rp400 ribu, dan kualitas tiga dengan tebalnya tiga lapis Rp300 ribu.
Kampung Sade ini memiliki keunikan tersendiri dimana mereka masih mempertahankan adat Suku Sasak, seperti rumahnya beratapkan ijuk dan kuda-kuda atapnya menggunakan bambu sama sekali tidak memakunya. Kemudian dinding rumah dari anyaman bambu serta beralaskan tanah.
Jumlah rumah di kampung Sade itu sebanyak 150 KK, dan saat ini daerah tersebut dikenal dengan kampung wisata.
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019