Jakarta (ANTARA) - Prediksi tentang mangkraknya realisasi pembangunan kereta ringan lintas raya terpadu (LRT) oleh ekonom kondang Faisal Basri naga-naganya bakal meleset kalau bukan salah sama sekali, setelah PT Adhi Karya menargetkan uji coba paling awal peranti pengangkut penumpang massal itu pada medio tahun ini.
Pekan pertama Maret dua tahun silam, media massa nasional ramai-ramai memuat pernyataan pesimistis ekonom dari Universitas Indonesia itu.
LRT bakal mangkrak, itulah pernyataan Faisal yang bisa membuat dahi pembaca mengernyit. Apa argumennya? Ekonom yang terpandang itu mengatakan, kepastian pembiayaan proyek menjadi faktor utama yang berpotensi membuat proyek LRT Jabodebek ini tak akan selesai.
Menggunakan kata-kata kiasan alias metafora, Faisal Basri menuturkan, proyek ini bagaikan kawin kontrak yang sangat dipaksakan. Proyek ini sendiri ditaksir menelan dana sebesar Rp 23,3 triliun.
PT Adhikarya (Persero) Tbk (ADHI) dan PT Kereta Api Indonesia (Persero) harus mencari pendanaan sendiri setelah ADHI mendapatkan penyertaan modal negara yang sangat terbatas.
Tentu, melesetnya prediksi itu tak harus menurunkan kredibilitas Faisal sebagai ekonom yang dikenal punya integritas tinggi. Dalam jagat keilmuan ekonomi, ada guyonan yang bermuatan apologi: ekonom punya alasan kuat dalam meramalkan masa depan. Jika ramalan itu meleset, mereka punya alasan yang lebih kuat lagi untuk menjelaskan kenapa prediksi mereka meleset.
Berbeda dengan alasan Faisal yang mendasari argumen peluang mangkraknya LRT dari faktor pembiayaan, terhambatnya peresmian uji coba LRT ternyata lebih diakibatkan variabel pembebasan lahan.
Direktur Utama PT Adhi Karya Budi Harto mengatakan, selain terkendala pembebasan lahan, pembangunan infrastruktur LRT terkendala oleh kondisi lalu lintas yang ramai saat siang dan sore hari. Dengan demikian, pengerjaan jalur LRT untuk bagian kawasan yang melewati jalur lalu lintas ramai seperti jalur Cawang-Dukuh Atas hanya bisa dilakukan malam hari.
Untuk pembangunan di jalur Bekasi Timur, yang menjadi penghambat utamanya adalah pembebasan lahan yang belum disepakati. Perlu dicatat bahwa kendala ini bukan karena tiadanya dana untuk membebaskan lahan milik warga. Ini boleh jadi menyangkut kesepakatan waktu pembebasan.
Namun, persoalan lahan ini diperkirakan akan tuntas dan kendala ini tak menjadikan realiasasi pembangunan LRT menjadi mangkrak. Hanya realisasi operasinya yang diperkirakan mundur sekitar 22 bulan.
Presiden Joko Widodo punya keinginan bahwa pembangunan LRT Jabodebek selesai tahun ini. Tentu keinginan itu harus dibaca sebagai sebentuk cambuk agar pelaksana pembangunan LRT bekerja semakin keras dan tidak terlalu lama dalam penyelesaiannya secara keseluruhan.
Bagi publik pun, penyelesaian pembangunan LRT sesegera mungkin menjadi idaman yang tak terpungkiri. Saat ini warga dari mana pun yang setiap hari pergi kerja menuju Ibu Kota harus menanggung derita didera kemacetan yang parah, terutama di kilometer pertama menjelang pintu gerbang pembayaran tarif tol.
Kemacetan itu pun menyumbang gas pencemar udara yang mengganggu kesehatan, menghambur-hamburkan energi yang akan bisa dihemat ketika LRT itu sudah beroperasi.
Kegembiraan warga yang mengimpikan beroperasinya LRT itu dengan mudah bisa dibayangkan. Itu akan sepadan dengan keriangan para warga yang sudah menikmati beroperasinya moda raya terpadu (MRT) yang menghubungkan jalur Lebak Bulus menuju Bundaran Hotel Indonesia, yang sangat macet untuk jalan darat di jam-jam sibuk.
Baca juga: Transportasi massal berkontribusi kurangi polusi DKI Jakarta
Bila jalur LRT yang menghubungkan Bekasi Timur- Cawang, yang saat ini pembangunannya mencapai 54 persen, bisa terselesaikan, ribuan warga Bekasi akan menikmati berkah teknologi modern transportasi massal itu.
Bagi warga Bekasi yang jauh dari stasiun terminal ataupun stasiun penghentian pada titik-titik tertentu LRT, beroperasinya kereta ringan ini boleh jadi tak memberikan kenyamanan secara langsung. Namun mereka merasakan dampaknya dengan semakin berkurangnya warga yang selama ini memadati tol jalur Jakarta-Cikampek baik dengan mobil pribadi atau mobil pengangkutan penumpang umum.
Dampak positif semacam itulah yang dirasakan para warga ketika bus Transjakarta beroperasi hingga ke wilayah Bekasi Barat dan Bekasi Timur. Kehadiran TransJakarta itu menjadikan penumpang bus umum yang dimiliki Mayasari Bakti tidak padat berjubel lagi oleh penumpang yang berdesakan. Karena sebagian warga memilih Tranjakarta yang murah meriah dengan tarif Rp3.500,-, penumpang bus Masayari yang mengenakan tarif Rp10.000,- Bekasi-Jakarta pun jadi nyaman dan berpeluang besar mendapat tempat duduk di dalam bus.
Tentu hal serupa juga dirasakan oleh warga dari kawasan selatan Jakarta saat Transjakarta menjangkau kawasan itu. Bila operasi jalur LRT untuk lintas pelayanan I Cawang-Cibubur diresmikan, yang dijadwalkan dilakukan akhir 2019, warga yang akan menikmati berkah LRT tentu melegakan warga yang berdomisili di jalur itu meski jauh dari terminal atau halte stasiun LRT. Setidaknya akan ada ribuan pengguna LRT setiap pagi dan sore pada jam-jam sibuk kerja yang tak memperpadat jalan tol atau bukan tol sepanjang Cibubur-Cawang.
Barangkali yang menjadi esensi pembangunan moda transportasi cepat massal adalah perkara pemihakan negara kepada rakyat, terutama wong cilik. Artinya, tarif menggunakan moda transportasi itu mesti terjangkau oleh kantung saku warga paling minim kemampuan finansialnya. Dengan bahasa yang tendensius pro jelata, MRT dan LRT biarlah menjadi transporasi milik wong cilik.
Baca juga: LRT Jabodetabek pecahkan rekor dunia untuk "longspan" terpanjang
Baca juga: DPRD DKI tetapkan tarif MRT dan LRT
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019