Semarang (ANTARA) - Pemilihan umum serentak tinggal 19 hari lagi. Muncul wacana pengajak golput atau tidak memilih pada tanggal 17 April 2019 dijerat Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pernyataan yang dikemukakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto dalam rakor bidang kewaspadaan dalam rangka pemantapan pemilu, Rabu (27/3), mendapat respons dari sejumlah kalangan, termasuk dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Pada kesempatan itu, Wiranto mengatakan bahwa oknum yang mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput meresahkan masyarakat. Oknum yang mengajak golput dapat diancam dengan ketentuan perundang-undangan. Indonesia merupakan negara hukum sehingga setiap orang yang mengganggu ketertiban dan membuat kekacauan akan dikenai sanksi hukuman.

Menurut Wiranto, kalau Undang-Undang Terorisme (UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang) tidak bisa, undang-undang lain masih bisa. Ada Undang-Undang ITE dan KUHP.

Direktur Eksekutif ICJR Anggara di Jakarta, Kamis (28/3), menyatakan bahwa tidak ada ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dapat menjerat ajakan untuk golput.

Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang dalam UU ITE dan perubahannya saat ini hanya dapat digunakan untuk menjerat penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perbuatan, di antaranya pelanggaran kesusilaan, hoaks, dan ujaran kebencian.

Dengan demikian, tidak ada satu ketentuan pun dalam UU ITE yang dapat menjerat perbuatan kampanye golput, sebagaimana disampaikan Wiranto. Penggunaan ancaman pidana untuk ajakan golput pada masa pemilu, kata Anggara, sudah diatur di dalam ketentuan Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal 515 menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.

Namun, lanjut Anggara, harus memperhatikan unsur di dalam pasal tersebut, ajakan golput yang dapat dipidana sudah dibatasi. Batasan tersebut adalah ajakan dilakukan pada saat pemungutan suara dan ajakan dilakukan dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih.

Dengan demikian, pengajak golput di luar hari-H pencoblosan, 17 April 2019, tidak bisa dijerat UU Pemilu. Bahkan, di tengah masa kampanye ada deklarasi "Saya Milenial Golput" di Kopi Politik, Jalan Pakubuwono VI, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka terang-terangan menyatakan golput. Hastag atau tagar #Setop Fitnah, Setop Caci Maki, #Saya Milenial Golput, #Berikan Edukasi Politik yang Baik buat Kami

Menyinggung kembali soal penghasut golput, ICJR berpendapat bahwa ancaman penggunaan pidana bagi mereka yang melakukan kampanye golput justru menimbulkan ketakutan yang tidak perlu. Pasalnya, pilihan untuk menjadi golput adalah bagian dari hak warga negara.


Menekan Angka Golput

Lepas dari pro dan kontra pernyataan Wiranto tersebut, agaknya pemerintah dan DPR RI produk Pemilu 2019 perlu merevisi UU Pemilihan Umum yang tidak membatasi waktu ajakan golput pada pemilu serentak berikutnya, tetapi mulai tahapan awal pelaksanaan Pemilu 2024. Siapa pun yang mengampanyekan golput sejak tahapan awal pemilu bakal terancam pidana. Hal ini diharapkan angka golput makin berkurang setiap pelaksanaan pemilu.

Jika mencermati Pasal 515 UU No. 7/2017, pengajak golput yang dikenai pidana pada saat pemungutan suara; menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah.

Seyogianya frasa "pada saat pemungutan suara" diubah menjadi "pada tahapan pertama hingga hari-H pemungutan suara". Begitu pula, dengan frasa "menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya" ditambah frasa "tidak menjanjikan atau tidak memberi uang atau materi lainnya".

Selengkapnya: "Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan dan/atau tidak menjanjikan atau memberikan dan/atau tidak memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta."

Dengan demikian, sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) yang terdiri atas unsur Bawaslu, polisi, dan kejaksaan akan menggunakan pasal ini untuk menjerat siapa saja yang berkampanye golput sejak tahapan pemilu hingga hari-H pencoblosan.

Kendati pengajak golput hanya bisa dijerat Pasal 515 UU No. 7/2017 pada saat pemungutan suara, semua pemangku kepentingan pemilu perlu punya tekad untuk merealisasikan target 77,5 persen tingkat partisipasi pemilih pada pemilu serentak pada tahun ini.

Setidaknya, melebihi pemilu-pemilu sebelumnya. Misalnya, angka golput pada Pilpres 2014 mencapai 30,42 persen dari total pemilih sebanyak 190.307.134 orang. Angka persen ini meningkat dari data masyarakat yang tidak menyalurkan hak pilihnya pada pilpres, 8 Juli 2009, sebanyak 27,43 persen dari 176.367.056 orang yang masuk daftar pemilih tetap (DPT).

Pada Pemilu Anggota DPR RI, 9 April 2014, angka golput mencapai 24,83 persen dari 185.826.024 pemilih. Persentase ini lebih rendah daripada data yang tidak memilih pada pemilu anggota legislatif, 9 April 2009, sebanyak 29,01 persen dari DPT sebanyak 171.265.441 orang.

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019