Pamekasan (ANTARA) - Ulama memiliki peran penting dalam ikut mewujudkan situasi politik yang aman dan kondusif, kendatipun elemen ini, bukan bagian dari institusi politik atau pemerintahan. Sebab, bagi masyarakat Madura, ulama adalah panutan, tokoh informal yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat.
Kuatnya pengaruh ulama, tidak lepas dari status para ulama itu sendiri sebagai pewaris perjuangan Para Nabi (warasatul ambiya), disamping peran mereka dalam kehidupan sosial masyarakat Madura.
Ulama tidak hanya paham tentang ilmu agama, dan juru dakwah, akan tetapi juga menjadi bagian penting bagi masyarakat Madura dalam membangun sumber daya manusia (SDM) melalui lembaga pondok pesantren yang dibinanya.
Peran ganda ulama tersebut, yakni sebagai penyampai ajaran agama Islam dan sebagai pemimpin umat yang berfungsi sebagai pembimbing, pengayom, dan pengarah menempatkan mereka memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan sosial masyarakat Madura, termasuk dalam dinamika politik lokal di Madura.
Dalam sejarah perjuangan bangsa, ulama merupakan salah satu elemen yang mampu menggelorakan perjuangan bangsa ini, yang dikenal dengan sebutan resolusi jihad.
Atas dasar itu, maka Kapolres Pamekasan AKBP Teguh Wibowo mengatakan, bahwa titik kunci dalam berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan ini, salah satunya pada para ulama, termasuk dalam berupaya mewujudkan situasi politik yang kondusif pada Pemilu 17 April 2019.
"Kami yakin, peran aktif para ulama nanti dalam ikut mewujudkan situasi yang kondusif, akan memberikan dampak positif akan terciptanya iklim pesta demokrasi di Pamekasan nanti yang kondusif, sesuai harapan kita semua," kata Kapolres dalam sebuah kesempatan.
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur Dr Ali Maschan Moesa dalam acara Fokus Grup Diskusi bertema "Menjaga Kerukunan dan Toleransi menuju Pamekasan Damai Guna Menyukseskan Pemilu 2019" beberapa waktu lalu mengakui, bahwa gerakan politik yang cenderung anaskis hingga terjadi saling hujat dan menjelek-jelekkan antarpendukung pasangan calon, berpotensi mengancam disintegrasi bangsa.
Oleh karenanya, sambung dia, maka upaya merawat kerukunan antarumat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia harus terus dijaga, termasuk oleh para pemimpin informal, seperti para ulama.
Pemahaman dasar yang perlu ditanamkan kepada masyarakat untuk mensukseskan penyelenggaraan pemilu dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, bahwa memilih pemimpin itu hukumnya wajib, dan perbedaan merupakan bagian dari hukum alam atau sunnatullah.
Senada dengan Ali Maschan Moesa, Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Dr Saad Ibrahim juga memiliki pandangan yang sama.
Menurut dia, yang cenderung menjadi ancaman perpecahan di negeri ini, karena masyarakat terlalu mempersoalkan perbedaan, dan mengabaikan kesamaan sehingga orang yang berbeda pilihan dianggap sebagai musih, bahkan cenderung diberi label "kafir".
Penyebaran fitnah dan berita bohong yang berpotensi mengadu domba kelompok masyarakat melalui media sosial merupakan fenomena baru yang perlu disikapi lebih serius.
"Dan yang perlu kita pahami bersama, bahwa perbedaan itu sebenarnya merupakan rahmat yang perlu kita rawat, apalagi kita ketahui bersama bahwa bangsa ini berdiri di atas perbedaan agama, suku, adat istiadat dan budaya," katanya.
Sebagaimana Dr Ali Maschan Moesa dan Dr Saad Ibrahim, Sekretaris Aliansi Ulama Madura (AUMA) KH Fudholi M Ruham juga merasakan kini ada upaya untuk memecah belah bangsa momentum pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Upaya tersebut sangat terasa ketika menyimak berbagai lalu lintas informasi di media sosial yang sangat menghujat dan saling menjelek-jelekkan antarpendukung pasangan calon.
Adanya sebagian oknum aparatur sipil negara dan oknum aparat keamanan yang secara terang-terangan mendukung salah satu pangan calon tertentu, juga berpotensi memperkeruh suasana pesta demokrasi kian memanas.
Institusi penyelenggara pemilu yakni KPU dan lembaga pengawas seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menurut Kiai Fudholi juga harus netral, karena keberpihakan, atau membiarkan terjadinya pelanggaran dalam proses pemilu hingga akhirnya terjadi kerusuhan adalah sama dengan membiarkan proses demokrasi ternodai.
"Kami dari para ulama dan habib di Pamekasan ini sudah berkomitmen dan sepakat untuk mendukung pelaksanaan pemilu damai di Madura dan Pamekasan secara khusus," kata Kiai Fudholi.
Namun demikian yang perlu juga diingatkan adalah aparat keamanan dan penyelenggara pemilu, sehingga AUMA juga menyampaikan dukungan secara langsung dukungan, sekaligus mengingatkan agar aparat juga bersikap netral, karena keberpihakan aparat juga berpotensi menimbulkan situasi yang tidak kondusif, bahkan berpotensi menimbulkan kerusuhan pelaksanaan pemilu.
Dukungan Langsung
Komitmen dan dukungan pemilu damai 2019 oleh perwakilan ulama dari AUMA ini disampaikan secara langsung ke Mapolres Pamekasan dengan mendatangi insitusi itu.
Ulama dan habib ini datang ke Mapolres Pamekasan dengan menyampaikan sejumlah tuntutan, yakni menyatakan mendukung penyelenggaraan pemilihan umum yang berkualitas, bebas dari praktik kecurangan dan demokratis.
"Habib dan para ulama ingin agar aparat bersikap netral dan tidak memihak kepada calon manapun, karena tugas aparat adalah melindungi semua kelompok kepentingan," kata Sekretaris AUMA KH Fudhali M Ruham.
Tuntutan agar petugas bersikap netral yang disampaikan secara langsung dalam bentuk audiensi pada 25 Maret 2019 itu merupakan satu dari lima poin yang disampaikan perwakilan ulama dan habib pada pertemuan itu.
Tuntutan lainnya, meminta polisi bertanggung jawab atas terciptanya keamanan yang kondusif di Kabupaten Pamekasan, serta meminta jika ada pelanggaran hukum dalam proses pelaksanaan pemilu hendaknya disanksi tegas tanpa pengecualian.
Tuntutan keempat, perwakilan ulama dan habib ini meminta agar semua elemen masyarakat di Kabupaten Pamekasan hendaknya mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari aparat penegak hukum.
Terakhir, para perwakilan ulama dan habib Pamekasan ini mengingatkan bahwa sikap netral aparat merupakan keharusan.
"Intinya para ulama dan habib mendukung dan berkomitmen terlaksananya tata kelola pemilu yang jujur, adil dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Kapolres AKBP Teguh Wibowo.
Kapolres bahkan menyampaikan terima kasih kepada para ulama dan habib, serta berharap peran aktif semua elemen masyarakat dalam mewujudkan situasi yang aman dan kondusif pada Pemilu 17 April 2019.
"Bagi kami, netralitas merupakan keharusan, karena polisi merupakan pengayom dan pelindung semua pihak yang berkepentingan," tambahnya.
Tugas pokok dan fungsi polisi, sambung kapolres, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Dalam ketentuan itu, polisi secara tegas dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis. "Maka bagi anggota yang ketahuan dan terbukti terlibat dalam kegiatan politik praktis, jelas akan disanksi tegas, sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Kapolres.
Selain ke Mapolres Pamekasan AUMA juga mendatangi kantor KPU dan Bawaslu Pamekasan dengan tuntutan yang sama, yakni meminta penyelenggara netral dan ulama siap mendukung dan mensukseskan pelaksanaan pemilu 17 April 2019 yang damai dan kondusif.
Akademisi dari Sekolah Tinggi Nazahtut Thullab (STAI-NATA) Sampang DR Moh Wardi menilai, gerakan dukungan pemilu oleh ulama Madura untuk pelaksanaan pemilu 2019 ini merupakan gerakan positif, karena dikawal langsung oleh para tokoh berpengaruh di Pulau Garam itu.
Kondisi ini menunjukkan adanya kesadaran kolektif tentang proses politik di Madura, antara tokoh informasi disatu sisi, yakni para utama dengan institusi penyelenggara pemilu dan aparat, sehingga kesamaan keinginan antara elemen berpengaruh dari unsur yang berbeda, akan mewujud pada cita ideal pelaksanaan pemilu yang sesuai harapan.
Baca juga: Ulama Madura dukung pelaksanaan pemilu damai
Baca juga: Ulama Madura ajak umat Islam berpolitik santun
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019