Jakarta (ANTARA News) - Semasa kecil hampir seluruh anak Indonesia amat akrab berdendang lagu 'Rasa Sayange', sebab di bangku SD guru kesenian menjadikannya sebagai salah satu lagu daerah yang mesti dihafal. Lagu 'Rasa Sayange' terasa riang, sederhana, dan amat menyenangkan dinyanyikan bersama-sama. Dan semua sepakat ketika menyanyikan lagu itu terbayang di pelupuk mata betapa indahnya Ambon nun di Maluku sana. Pantas bila kemudian hampir seluruh warga Indonesia terperanjat saat secara tiba-tiba Malaysia menjadikan lagu yang berirama sama persis dengan 'Rasa Sayange' sebagai "jingle" promosi pariwisata negeri jiran itu. Meski syair lagunya tidak sama, 'Rasa Sayange' versi Malaysia yang berjudul 'Rasa Sayang Hey' itu memiliki notasi dan irama yang hampir sama persis dengan lagu 'Rasa Sayange' yang lebih dahulu ada di Indonesia. Lagu 'Rasa Sayange' itulah yang kemudian menjadi pemicu riak gejolak hubungan Indonesia-Malaysia saat ini. Terlebih pasca merebaknya beberapa kasus penyiksaan TKW asal Indonesia di Malaysia. Beberapa aksi demonstrasi anti-Malaysia terjadi di Indonesia. Itu belum termasuk "perang" kata para blogger Indonesia dan Malaysia di dunia maya (internet) pada sejumlah situs. Boleh jadi, saat ini rasa sayang sebagai tetangga selama puluhan tahun antara Indonesia dan Malaysia tengah teruji. Pasca kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, klaim Malaysia atas batik, angklung, dan budaya Dayak, dan juga kiriman asap kebakaran hutan dari Indonesia ke Malaysia memang menjadi ujian yang berat bagi hubungan baik kedua negara. Sejumlah klaim atas sesuatu oleh Malaysia itu juga menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan warga negara Indonesia untuk merancang regulasi yang protektif dan memperkuat rasa memiliki atas kekayaan sendiri. Payung Hukum 'Rasa Sayange' paling tidak memiliki sisi baik tersendiri. Dari situ kemudian dapat dirasakan tumbuhnya nasionalisme terhadap bangsa sekaligus kesadaran pemerintah untuk menentukan kebijakan yang lebih protektif terhadap budaya bangsa. Belum lama ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata(Depbudpar) dan Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia (Depkumham) menjalin kerja sama untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kekayaan intelektual ekspresi budaya warisan tradisional milik bangsa Indonesia. "Dengan adanya kerja sama ini, saya mengharapkan agar karya budaya kita yang belum terlindungi secara hukum segera didaftarkan dalam HAKI secara kolektif sehingga cepat selesai," kata Menbudpar Jero Wacik. Pada akhirnya ditandatanganilah Naskah Kesepahaman antara Jero Wacik dan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Andi Mattalatta, tentang perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kekayaan intelektual ekspresi budaya warisan tradisional milik bangsa Indonesia. Perjanjian kerja sama tersebut bertujuan untuk memberdayakan ekspresi budaya milik bangsa Indonesia melalui perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atas sekumpulan karya cipta yang bernilai luhur. "Kerja sama ini merupakan payung hukum dalam memberikan perlindungan terhadap karya budaya bangsa Indonesia dari pemanfaatan oleh pihak asing," kata Menbudpar. Dalam kerja sama itu, Depbudpar berkewajiban untuk melakukan inventarisasi dan dokumentasi berbagai jenis karya atau warisan budaya bangga. Sedangkan Depkumham akan menetapkan jenis-jenis ekspresi budaya milik bangsa Indonesia yang perlu dilindungi. Sementara itu Menkumham, Andi Mattalatta, mengakui kerja sama itu merupakan upaya proteksi yang dapat dibilang terlambat tetapi tetap perlu dilakukan. Menurut dia, upaya tersebut merupakan tindakan perlindungan sekaligus penghargaan dan perangsang terhadap timbulnya karya budaya baru anak bangsa. "Ini harus kita lakukan apalagi setelah beberapa karya budaya kita diklaim negara lain seperti lagu Rasa Sayange, batik, tahu, dan tempe. Kalau tidak segera didaftarkan maka ada kemungkinan bisa diklaim orang lain," katanya. Berlebihan Sementara itu, warga Malaysia dalam sebuah situs di dunia maya sebagian besar menganggap Indonesia terlalu berlebihan menyikapi hal itu. Sebagian di antara mereka bahkan menganggap Indonesia tidak dapat membedakan persoalan yang penting dan yang remeh serta kerap membesar-besarkan sesuatu. Konflik itu terasa ironis mengingat dalam riwayat sejarah Indonesia-Malaysia telah menjadi "sahabat" sejak lama meski beberapa kali terlibat konfrontasi. Kedua negara memang sempat mengalami konfrontasi pada 1967, berlanjut sengketa Sipadan-Ligitan, dan yang terbaru mengenai status kepemilikan Ambalat. Namun, ibarat sejarah yang terus berulang melalui meja diplomasi semua permasalahan terselesaikan. Tanpa mengesampingkan nasionalisme yang terusik akibat kedaulatan yang dirasakan terinjak, semua berharap kemelut RI-Malaysia kembali terselesaikan melalui jalur diplomasi. (*)
Oleh Oleh Hanni Sofia
Copyright © ANTARA 2007