Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang dalam UU ITE dan perubahannya saat ini hanya dapat digunakan untuk menjerat penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perbuatan, di antaranya pelanggaran kesusilaan, hoaks, dan ujaran kebencian.
"Tidak ada satu ketentuan pun dalam UU ITE yang dapat digunakan untuk menjerat perbuatan kampanye golput sebagaimana disampaikan," kata
Anggara.
Penggunaan ancaman pidana untuk ajakan golput pada masa pemilu, tutur Anggara, sudah diatur di dalam ketentuan Pasal 515 UU Pemilu. Namun, dengan memperhatikan unsur di dalam Pasal 515 UU Pemilu, ajakan golput yang dapat dipidana sudah dibatasi.
Batasan tersebut adalah ajakan dilakukan pada saat pemungutan suara dan ajakan dilakukan dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih.
ICJR menilai ancaman pidana, seperti penggunaan UU ITE untuk penghasut golput justru menimbulkan ketakutan yang tidak perlu.
"ICJR berpendapat bahwa ancaman penggunaan pidana bagi mereka yang melakukan kampanye golput justru menimbulkan ketakutan yang tidak perlu sebab pilihan untuk menjadi golput adalah bagian dari hak warga negara," ujarnya.
Lebih lanjut, hak untuk menentukan pilihan politik merupakan hak yang sifatnya boleh digunakan atau tidak.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto dalam rakor bidang kewaspadaan dalam rangka pemantapan pemilu, Rabu (27/3), mengatakan bahwa oknum yang mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput meresahkan masyarakat.
Ia mengatakan oknum yang mengajak golput dapat diancam dengan ketentuan perundang-undangan. Indonesia merupakan negara hukum sehingga setiap orang yang mengganggu ketertiban dan membuat kekacauan akan dikenakan sanksi hukuman.
"Kalau Undang-Undang Terorisme tidak bisa, undang-undang lain masih bisa. Ada Undang-Undang ITE, KUHP," katanya.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019