"Oleh karena itu, bagaimana kita melipatgandakan apa yang sudah ada mengenai pelatihan bahasa, kemudian bisa menjangkau balai-balai pelatihan yang lebih banyak, atau vokasional yang lebih banyak," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi usai menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantornya, Jakarta pada Kamis.
Retno bersama Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri dan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid telah menemui Wapres JK untuk membahas undang-undang keimigrasian baru Jepang yang memberikan kuota bagi tenaga kerja migran disana.
Jepang memberikan kuota tenaga kerja sebanyak 345.150 pekerja per lima tahun bagi sembilan negara asing, termasuk Indonesia, untuk mengisi di 14 sektor pekerjaan.
Sektor-sektor pekerjaan itu diantaranya tenaga perawat, pekerja mesin industri, pengelola jasa kebersihan dan juga tenaga kesehatan.
Menurut Hanif, terdapat dua syarat khusus yang perlu dipenuhi sebelum pekerja migran Indonesia masuk ke Jepang yakni ujian keterampilan dan ujian kebahasaan.
Hal yang harus diatasi kedepan adalah upaya pendidikan Bahasa Jepang kepada para calon tenaga kerja.
"Ini tentu menjadi sesuatu yang menantang dan harus dipersiapkan betul-betul," ujar Hanif.
Untuk kuota tenaga kerja bagi Indonesia sendiri, Hanif menjelaskan hal itu tergantung dari negosiasi kedua pemerintah.
Pemerintah Indonesia juga mengidentifikasi sektor-sektor pekerjaan yang lebih siap untuk dikirim ke Jepang dengan mempertimbangkan kepentingan di dalam negeri.
Undang-undang keimigrasian baru akan mulai berlaku di Jepang pada Bulan April 2019.
Selain Indonesia, delapan negara lain yang juga mendapat kesempatan bekerja di Negeri Sakura yakni Vietnam, Filipina, Kamboja, Nepal, Myanmar, Tiongkok, Bangladesh, dan Pakistan.
Baca juga: 2.000 peserta magang dikirim ke Jepang setiap tahun
Baca juga: Dubes: Mahasiswa Indonesia belajar di Jepang masih sedikit
Pewarta: Bayu Prasetyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019