Mereka adalah ahli hukum ITE dari Kominfo, Dr Teguh Afriadi, dan ahli hukum pidana dari STIH IBLAM, Dr Chair Ramadhan, serta satu saksi fakta, yakni Memet Indrawan,
Saksi yang diperiksa pertama adalah Afriadi, ahli hukum ITE di Kementerian Kominfo, yang juga sebagai kepala Subdit Penindakan Hukum Pidana.
"Semua saksi kami sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan," kata Ketua Majelis Hakim, R Anton Widyopriyono, pada persidangan itu, Kamis.
Dalam pendapatnya, Afriadi menyampaikan, terkait pasal 27 ayat 3 UU ITE merupakan norma hukum baru yang berkelanjutan.
"Tetap terkait bedanya tidak ada penjelasan jadi tegas. Pasal 27 ayat 3 itu merujuk KUHP semua sepakat tidak ada beda tafsir," katanya.
Dalam persidangan, "Saya sudah lebih dari 200 kali dimintai pendapat terkait perkara UU ITE, pernah di Bekasi."
Ia melanjutkan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi, pasal 27 ayat 3 itu konstitusional tidak boleh lepas dari pasal 310 dan 311.
"Semua berdasarkan putusan MK menyatakan demikian," katanya.
Saat ditanya kuasa hukum Dhani, Aldwin, yang menanyakan apakah kata "idoit", "sontoloyo" itu pencemaran nama baik.
"Idiot itu merupakan mencela. Akan tetapi lebih baik ditanya ke ahli bahasa dan pidana. Dalam pemahaman kami tidak bisa dijerat dengan pasal 27. Harus dibuktikan secara tekstual bukan kontekstual," katanya.
Kasus ini bermula saat Ahmad Dhani akan menghadiri acara deklarasi Ganti Presiden 2019, di Tugu Pahlawan Surabaya, pada 2018. Namun, saat tiba di Hotel Majapahit, dia dihadang kelompok yang mengatasnamakan elemen Bela NKRI.
Saat penghadangan itulah, Ahmad Dhani membuat vlog yang berisi kata "idiot" yang diunggah ke media sosial dengan durasi waktu 1 menit 37 detik.
Pewarta: Indra Setiawan
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019