Singapura (ANTARA News) - Harga minyak mentah melampaui 92 dolar per barel di perdagangan Asia, Jumat, menjadi sebuah rekor baru akibat meningkatnya ketegangan di Timur Tengah dan sanksi baru AS terhadap Iran, kata para pedagang. Kontrak perdagangan berjangka utama New York, minyak mentah light sweet untuk pengiriman Desember menyentuh titik baru dalam hari yang terbaik pada 92,22 dolar per barel, lapor AFP. Sebelum pukul 3:30 malam (0730 GMT) harga minyak agak jatuh lagi namun masih melonjak 1,50 dolar menjadi 91,96 dolar dari penutupannya pada 90,46 dolar dalam akhir perdagangan AS. Minyak mentah Brent Laut Utara mencapai titik dalam hari pada 89,30 dolar, juga memecahkan rekor yang tercatat semalam. Sebelum pukul 3:30 malam kontrak untuk Desember naik 1,47 dolar pada hari itu menjadi 88,95 dolar. "Kini bahwa minyak berada dalam 90-an, jauh lebih mudah untuk mencapai 100 dolar. Apapun bisa terjadi di pasar ini," kata Tetsu Emori, seorang manajer investasi Astmax di Tokyo. Ia mengatakan keengganan OPEC untuk menaikkan produksi dan peningkatan ketegangan di Timur Tengah membantu gejolak harga bahan bakar. "Perusahaan pengapalan mengatakan bahwa ekspor minyak mentah OPEC lebih rendah daripada yang mereka perkirakan. Ini adalah faktor lain yang mendorong kenaikan harga saat ini," katanya. Harga minyak "ditopang oleh memanasnya ketegangan geopolitik dan juga perkembangan pasar," Commonwealth Bank Australia mengatakan dalam sebuah komentar pasar. Bank tersebut menyebutkan sanksi baru AS, yang ditujukan kepada Korps Garda Revolusi Islam. Tiga bank milik-negara Iran juga dimasukkan ke dalam daftar hitam, bersama dengan perusahaan yang dikendalikan oleh korps tersebut dan anak perusahaan logistik dari kementerian pertahanan Iran, dalam upaya yang dimaksudkan untuk menekan Iran keluar dari perbankan global. Sanksi-sanksi tersebut meningkatkan ketegangan terkait langkah nuklir produsen minyak Iran dan dugaan kuat mendukung terorisme. "Pasar minyak juga terus mengamati perkembangan terkait ketegangan belakangan ini antara Turki dan pemberontak Kurdi di Irak," kata Commonwealth Bank.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007