Diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa terhadap sawit akan berimplikasi negatif terhadap sedikitnya 17 juta orang yang terlibat dalam industri sawitLondon (ANTARA) - Indonesia kembali angkat isu diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit pada Seminar bertema "ASEAN-EU Relations: Advancing a Partnership for Innovation and Sustainability" yang diselenggarakan di European Institute for Asian Studies (EIAS), think tank Uni Eropa berbasis di Brussels, Selasa,
Dubes RI untuk Belgia merangkap Uni Eropa (UE) dan Luksemburg, Yuri O. Thamrin, menekankan perlunya "win-win solution" dalam penyelesaian isu ini, demikian Sekretaris Kedua Fungsi Ekonomi KBRI Brusel, Andi Sparringa kepada Antara London, Rabu.
Dubes Yuri mengatakan, diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa terhadap sawit akan berimplikasi negatif terhadap sedikitnya 17 juta orang yang terlibat dalam industri sawit.
Ia kembali menyampaikan komitmen Indonesia untuk terus meningkatkan upayanya dalam menghasilkan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan (sustainable palm oil). Indonesia tidak akan membiarkan lahan hijaunya dirusak demi kelapa sawit. Oleh karena itu, Indonesia berkeberatan dengan kebijakan Uni Eropa melalui Delegated Act yang mengkategorikan sawit sebagai komoditi merusak lingkungan dan menyebabkan deforestasi.
Diskriminasi dan double standard yang diterapkan Uni Eropa dibenarkan oleh salah salah satu anggota Parlemen Eropa terkemuka, Dr. Werner Langen, yang merupakan Ketua DASE (Delegation for relations with the countries of Southeast Asia and ASEAN). Dalam surat terbukanya, Langen menyampaikan pandangannya bahwa minyak kelapa sawit yang diproduksi secara berkelanjutan seharusnya tidak masuk dalam kategori beresiko tinggi terhadap lingkungan (Indirect Land Use Change/ILUC high risk) dan kebijakan Delegated Act Komisi Eropa tersebut “pure protectionist and hypocritical”.
Menanggapi hal ini, Mr. David Daly dari European External Action Service (EEAS), EU Commission, menyampaikan pada dasarnya Uni Eropa tidak melarang sawit untuk masuk ke pasar Uni Eropa, hanya saja untuk memenuhi target Renewable Energy 2030, Uni Eropa berkomitmen untuk mengurangi penggunaan biofuel yang tidak ramah lingkungan. Untuk menjembatani hal ini, Uni Eropa siap berdialog dengan Indonesia dan negara produsen sawit lainnya.
Berbicara di depan sedikitnya 150 tamu undangan kebanyakan adalah peneliti dan think tank, Dubes Yuri juga menyampaikan kekhwatirannya mengenai meningkatnya Islamophobia dan "white supremacists" yang merupakan "social cancer" yang dapat menggerogoti nilai-nilai demokrasi, toleransi dan pluralisme yang selalu dijunjung tinggi oleh negara-negara Eropa.
Isu minyak kelapa sawit dan Islamophobia mendominasi diskusi mengenai upaya untuk memajukan kemitraan ASEAN dan EU yang juga dihadiri Duta Besar dari 10 negara ASEAN.
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019