Jakarta (ANTARA) - Indonesia masih menghadapi "pekerjaan rumah" untuk memperbaiki masalah fundamental defisit transaksi berjalan, sebelum Bank Indonesia berani untuk menurunkan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate".

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, usai peluncuran Laporan Perekonomian Indonesia 2018 di Jakarta, Rabu, mengatakan ada tiga hal yang sangat mempengaruhi penentuan kebijakan suku bunga acuan Bank Sentral, yakni inflasi, kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed, dan defisit transaksi berjalan.

Inflasi selalu berada di rentang bawah sasaran Bank Sentral (inflation targeting framework) sejak awal 2015 hingga awal 2019.
Sementara, The Fed sudah melontarkan sinyalemen bahwa pihaknya tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga acuan, setidaknya dalam dua tahun ke depan, sehingga dapat mendorong modal asing ke dalam negeri.

Dengan demikian, faktor penentu yang masih menjadi hambatan adalah defisit transaksi berjalan Indonesia. Sepanjang 2018, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai 2,98 persen Produk Domestik Bruto atau 31 miliar dolar AS.

"Dari tiga faktor itu, tinggal satu faktor yang harus kita pantau dan itu penting untuk kebijakan moneter ke depan," ujar Mirza.

BI dalam Rapat Dewan Gubernur periode Maret 2019 ini, menahan tingkat suku bunga acuannya di level enam persen untuk keempat kalinya. Terakhir kali Bank Sentral memangkas suku bunga acuannya adalah 1,5 tahun lalu ketika tekanan ekonomi global mereda serupa dengan kondisi ekonomi saat ini.

Di 2019, ketika suku bunga acuan di negara-negara maju diperkirakan tidak akan meningkat secara cepat karena perlambatan ekonomi global, negara-negara berkembang termasuk Indonesia mendapat relaksasi untuk mengoptimalkan instrumen suku bunga acuannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, kata Mirza, fokus kebijakan suku bunga acuan BI masih diprioritaskan kepada stabilitas eksternal. Fokus kepada stabilitas eksternal dilakukan untuk menjaga daya tarik aset keuangan berdenominasi rupiah sehingga modal asing terus masuk dan mampu membiayai defisit transaksi berjalan.

Di 2019, Bank Sentral memiliki target untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke 2,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB).

Kepala Ekonom PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Ryan Kiryanto mengatakan kebijakan suku bunga acuan BI memang perlu ditujukan untuk memperkuat stabilitas eksternal perekonomian di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi global, terutama Tiongkok, AS dan Uni Eropa.

Kebijakan Bank Indonesia yang masih menahan suku bunga acuan pada level enam persen tepat dalam mengatasi masalah defisit transaksi berjalan yang masih menjadi ancaman di dalam negeri.

"Ibarat permainan sepakbola, langkah BI memperkuat pertahanan domestik dari tekanan eksternal merupakan langkah yang cerdas sebelum tekanan eksternal tadi makin kuat dan besar," ujar Ryan beberapa waktu lalu.


Baca juga: Defisit transaksi berjalan triwulan-IV tembus 3,57 persen PDB
Baca juga: BI: Indonesia fokus turunkan defisit transaksi berjalan

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019