Washington (ANTARA) - Keputusan presiden AS Donald Trump untuk mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, yang diduduki, sekali lagi memperlihatkan pendekatan sepihak pemerintah yang sembrono dalam kebijakan luar negeri mengenai Timur Tengah.
Churches for Middle East Peace (CMEP) pada Selasa di dalam satu pernyataan mencela tindakan itu sebagai pelanggaran terhadap salah satu tonggak sejarah hukum internasional pasca-Perang Dunia II: keabsahan wilayah yang diperoleh melalui penaklukan.
"Mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai bagian dari Israel adalah yang paling akhir dari serangkaian keputusan Pemerintah Trump, yang mendiskreditkan setiap klaim AS untuk menjaenamdi penengah yang jujur antara Israel, tetangga Arabnya dan Palestina," kata CMEP, sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Palestina, WAFA --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa malam.
Pada Desember 2017, Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan mengakui Al-Quds (Jerusalem) sebagai ibu kota Israel meskipun 20 tahun kesepakatan bipartisan bahwa status kota itu tetap menjadi objek untuk merancang Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza sebagai wilayah yang diduduki Israel, dan bukan menggunakan frasa "yang dikuasai Israel" di dalam Laporan Hak Asasi Manusia Departemen Luar Negeri 2018 mengenai Israel, Dataran Tinggi Golan, Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Dikretur Pelaksana CMEP Pendeta Dr. Mae Elise Cannon mengatakan, "Saat Pemerintah Trump bersiap mengeluarkan rencana perdamaiannya dalam beberapa bulan ke depan, Washington harus secara tegas mengutuk pendudukan yang berlangsung atas Tepi Barat, Al-Quds Timur dan Jalur Gaza. Kebijakan AS harus secara jelas menyampaikan penentangannya terhadap perluasan permukiman Yahudi dan komitmen bagi penyelesaian melalui perundingan bagi konflik tersebut. Tidak mencabut setiap rujukan kepada 'wilayah yang diduduki' --maupun tidak mencaploknya secara sepihak-- akan membuat pendudukan hilang. Itu hanya akan membuat kekuatan pendudukan menyebar makin banyak perpecahan."
Waktu pengumuman itu, dalam beberapa pekan menuju pemilihan umum Israel pada 9 April dan dugaan disiarkannya rencana perdamaian menyeluruh Pemerintah Trump tak lama setelah itu tidak meninggalkan keraguan bahwa rencana semacam itu akan memperlihatkan sedikit penghargaan bagi kepentingan Arab, Palestina, atau kepentingan politik orang Israel yang moderat sampai liberal. Pendekatan sepihak semacam itu tak bisa berfungsi sebagai landasan kuat bagi perdamaian yang langgeng, kata CMEP.
CMEP, yang dibentuk pada 1984, adalah koalisi 28 organisasi dan masyarakat gereja nasional nasional, termasuk Katholik, Ortodoks, Protestan dan tradisi Injili --yang bekerja untuk mendorong kebijakan AS yang secara aktif meningkatkan penyelesaian menyeluruh bagi konflik di Timur Tengah dengan pusat perhatian pada Konflik Palestina-Israel. CMEP bekerja untuk menggerakkan umat Kristen AS untuk merangkul perspektif holistik dan menjadi penganjur yang setara, hak asasi manusia, keamanan, keadilan buat orang Israel, Palestina dan semua orang di Timur Tengah.
Sumber: WAFA
Baca juga: Negara Teluk tolak pengakuan Dataran Tinggi Golan oleh AS
Baca juga: Presiden Palestina kutuk keras keputusan AS mengenai Al-Quds-Golan
Baca juga: Trump tandatangani dekrit pengakuan kedaulatan Israel atas Golan
Penerjemah: Chaidar Abdullah
Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019