Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai penetapan harga pokok penjualan (HPP) gabah yang berlaku saat ini dinilai menghambat kinerja penyerapan beras dari para petani oleh Bulog.
"Adanya HPP justru menghambat kerja Bulog untuk menyerap gabah dan beras dari petani," kata Ilman di Jakarta, Senin.
Ia mengingatkan bahwa Bulog harus membeli gabah pada kisaran Rp 4.030/kg, sedangkan BPS pada Februari lalu mencatat harga gabah ada di kisaran Rp 5.114/kg, dengan kualitas terendah ada di angka Rp4.616/kg.
Dengan demikian, lanjutnya, angka tersebut jauh dari patokan harga yang dimiliki Bulog, sehingga tidak tertutup kemungkinan petani memutuskan untuk menjual ke tengkulak.
"(Menjual ke tengkulak) pada akhirnya akan mengganggu stabilitas harga beras di pasaran," jelas Ilman.
Selain itu, ujar dia, Bulog juga dinilai menghadapi kesulitan untuk melakukan penyerapan karena kanal penyaluran Bulog yang hilang semenjak perubahan skema program bantuan Rastra Penerapan HPP membuat daya serap Bulog terhadap beras petani menjadi kurang fleksibel.
Ia memaparkan, melalui pengalihan dari Rastra ke program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)/voucher pangan, penerima bantuan memiliki akses terhadap jenis beras lain sehingga beras Bulog tidak menjadi satu-satunya opsi beras bantuan.
"Hal ini mengakibatkan permintaan beras Bulog berkurang," ucapnya.
Ilman menambahkan, ketika permintaan berkurang, Bulog pun pada akhirnya relatif sulit untuk melakukan penyerapan dari petani.
Baca juga: Bulog targetkan penyerapan beras 2019 sebanyak 1,8 juta ton
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019