"Kurikulum agama perlu ditinjau ulang karena selalu berorientasi pada pengetahuan. Isinya pelajaran agama yang mengajarkan agama yang dianut anak itu yang paling benar, padahal ada anak lain yang beragama berbeda dan juga menganggap agamanya yang paling benar," ujar Mendikbud saat membuka program penguatan kapasitas auditor dan kepala sekolah "meningkatkan toleransi dan multikulturalisme di sekolah" di Yogyakarta, Senin (25/3).
Dia mengatakan multikulturalisme merupakan kekuatan dahsyat dalam merawat kebhinekaan. Fondasinya adalah toleransi, tanpa adanya toleransi maka tidak akan ada semangat kebhinekaan itu.
Pihaknya juga sudah bekerja sama dengan Kementerian Agama untuk menata kembali kurikulum pendidikan agama. Sehingga diharapkan bisa meningkatkan toleransi yang ada di sekolah.
"Sehingga bisa membangun semangat kebersamaan, toleransi dan menjaga persatuan dan kesatuan."
Pendiri Ma'arif Institute, Buya Syafii Maarif, mengatakan intoleransi yang terjadi di ruang kelas dikarenakan pemerintah kurang membendung hal itu pada masa lalu.
"Sekarang sudah terlambat, tetapi kesadaran muncul. Tidak semata-mata dengan pendekatan keras, tetapi harus dilakukan dengan bahasa hati," kata Buya Syafii.
Buya Syafii mengatakan keberadaan kelompok radikal bukan hanya merusak bangsa, tetapi membunuh masa depannya sendiri. Untuk itu, Buya Syafii meminta agar perlunya peninjauan kembali pelajaran agama, yang hanya memenuhi ranah kognitif atau pengetahuan.
"Pelajaran agama harus afektif , mengedepankan rasa dan etika. Selama ini agak kering karena hanya mengandalkan masalah otak," kata Buya Syafii.
Pewarta: Indriani
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019